REPUBLIKA.CO.ID, BAMAKO -- Kekacauan politik di Mali menimbulkan kekhawatiran internasional terutama Amerika Serikat (AS), dan mantan penguasa kolonial Prancis yang tengah meningkatkan minatnya di wilayah perbatasan Sahel. Kudeta oleh tentara pemberontak berhasil membuat Presiden Mali Ibrahim Boubacar Keita menyatakan mundur dari jabatan dan membubarkan parlemen.
Presiden Keita mengundurkan diri dan membubarkan parlemen pada Selasa (18/8) malam waktu setempat setelah pemberontak menahannya dengan todongan senjata. Kudeta itu menjerumuskan negara yang sudah menghadapi pemberontakan militan dan protes massa lebih dalam masuk krisis.
Kudeta itu kemudian dengan cepat dikecam oleh mitra regional dan internasional Mali, yang khawatir mundurnya Keita dapat semakin mengguncang negara bekas koloni Prancis dan seluruh wilayah Sahel Afrika Barat. Peran Prancis telah memicu beberapa tuduhan bahwa Prancis berusaha untuk mengembalikan masa lalu kolonialnya di wilayah tersebut. Bagi Prancis, Mali memiliki kepentingan strategis untuk apa yang oleh beberapa orang disebut "Perang Selamanya" Prancis di Sahel, sebuah wilayah hamparan yang membentang di Sahara selatan.
Kudeta terhadap Keita juga menandakan kemunduran diplomatik yang besar bagi Presiden Prancis Emmanuel Macron dan kebijakannya di wilayah tersebut. Ia memimpin misi G-5 Sahel melawan militan di Mali dan negara-negara tetangganya dengan harapan dapat membentuk kekuatan.
Seperti dilansir Daily Sabah, upaya kudeta militer pada Selasa merupakan tragedi berulang dari peristiwa kudeta 2012. Kala itu, kudeta menimbulkan kekacauan selama beberapa tahun di Mali. Sebab, kosongnya kekuasaan usai kudeta memungkinkan kelompok-kelompok militan menguasai kota-kota utara.
Mali yang terkurung daratan telah berjuang untuk mendapatkan kembali stabilitas sejak pemberontakan Tuareg pada 2012 itu. Kudeta saat itu dikuasai oleh militan yang terkait dengan al-Qaeda, dan upaya kudeta berikutnya di ibu kota membuat negara itu dalam kekacauan. Keita (75 tahun) berkuasa pada 2013 setelah kudeta Bamako yang menjanjikan perdamaian dan stabilitas serta memerangi korupsi. Dia memenangkan pemilihan umum untuk masa jabatan lima tahun kedua pada 2018.
Intervensi militer Prancis berikutnya, Operasi Serval, pada 2013 bertujuan untuk menstabilkan kawasan itu, termasuk negara-negara tetangga Niger, Aljazair, Nigeria, dan Mauritania. Sejak itu, mereka dituduh berusaha memperluas pengaruhnya di bekas jajahannya di Afrika, terutama Mali dan Cad dengan meningkatkan jumlah pasukannya.
Prancis telah menggunakan Mali utara sebagai zona penyangga untuk mencegah ancaman militan menyebar ke seluruh wilayah Sahel, menuju perbatasan Niger. Wilayah yang telah dilemahkan oleh berbagai kelompok militan di Niger itu serta menjadi produsen uranium terbesar keempat di dunia, memainkan peran penting bagi Prancis. Keamanan Niger adalah prioritas utama bagi Prancis karena di sinilah letak prioritas ekonomi terbesar negara itu.
Prancis dilaporkan telah menginvestasikan 1,9 miliar euro (2,26 miliar dolar AS) dalam pengembangan simpanan uranium besar di perbatasan timur Niger pada 2014. AS juga memiliki minat yang besar pada pemerintahan Mali yang stabil yang kepentingannya sejalan dengan Barat.
Selain Prancis, Sahel Afrika berada di garis depan kebijakan luar negeri AS setelah kudeta di Mali pada 2012. The New York Times melaporkan pada Desember 2019 bahwa AS sedang mempertimbangkan pengurangan atau bahkan penarikan penuh pasukan AS dari Afrika Barat.
AS memiliki antara 6.000 dan 7.000 tentara di Afrika, sebagian besar ditempatkan di wilayah tersebut. Kemungkinan pengurangan pasukan AS di Afrika dilaporkan merupakan bagian dari tinjauan dunia oleh Menteri Pertahanan AS Mark Esper, yang sedang mencari cara untuk menyaingi China dan Rusia sambil mengakhiri dukungannya untuk upaya militer Prancis.