REPUBLIKA.CO.ID, oleh Hiru Muhammad*
Masalah Natuna di awal tahun ini, sempat menyedot perhatian publik di Tanah Air. Terutama setelah kapal penjaga pantai Cina yang mengawal sejumlah kapal nelayan mereka bersitegang dengan TNI AL dan Bakamla di perairan yang kaya sumber alam itu. Bahkan ketegangan yang muncul setelah klaim sepihak Cina atas sembila garis putus di Natuna itu
telah menyeret kekuatan besar dunia, AS bersama sekutunya di Asia untuk turun tangan hingga mengadirkan tiga kapal induknya di kawasan ini. Kehadiran armada perang AS tersebut yang kabarnya mencapai 60 persen dari keuatan militer AS merupakan yang terbesar sejak perang dunia ke-2.
Kehadiran AS dan sekutunya untuk kembali menegaskan kawasan laut Cina selatan atau laut Natuna Utara menurut versi Indonesia adalah kawasan bebas berdasarkan hukum internasional yang berlaku. Menghangatnya konflik di Natuna telah mendorong TNI memobilisir kekuatan militernya dalam skala besar di kawasan utara perbatasan Indonesia tersebut.
Sebagai negara kepulauan, ancaman dari luar negeri akan masuk ke wilayah Indonesia melalui jalur laut dan udara. Karena itu pembangunan kekuatan matra laut dan udara yang kuat sudah menjadi keharusan. Konflik Natuna yang memanas menyusul klaim Cina atas delapan garis putus putus sejak merebaknya pandemi Covid-19 awal tahun ini, telah
mematik kemarahan sejumlah negara di ASEAN dan negara lain. Di bawah komando AS bersama sekutunya Australia dan Jepang dibantu Inggris mereka unjuk kekuatan militernya di laut Cina Selatan.
Bagi Indonesia, protes keras tidak terbatas pada nota diplomatik. Melainkan juga kesiapan mengantisipasi kemungkinan terjadinya konflik militer terbuka dalam skala besar di kawasan yang kaya dengan sumber alam lautnya ini. Karena itu sejak awal tahun pemerintah Indonesia telah meningkatkan kemampuan militernya, khususnya matra laut dan
udara guna mengantisipasi meluasnya konflik tersebut. Mengandalkan kekuatan militer yang ada rasanya masih belum mencukupi mengingat calon lawan yang bakal dihadapi tergolong super power.
Meski tidak ingin terseret dalam pusaran konflik di Natuna, namun sudah saatnya Indonesia mengantisipasi new normal di Natuna yang menjadi medan konflik jangka panjang di Asia. Bisa jadi kawasan yang semula dikenal tenang dan damai, kini memanas dengan bangkitnya Cina yang tengah mencari sumber energi baru bagi perekonomiannya yang terus bergerak naik. Meski hal itu harus dibayar Cina berkonflik dengan sejumlah negara ASEAN. Tampaknya hot spot kini telah bergeser ke kawasan Asia Tenggara.
Karena itu tak mengherankan bila sepanjang tahun ini Menhan Prabowo Subianto sudah bolak balik ke sejumlah negara seperti Rusia, India, Prancis hingga Turki untuk menjajaki pembelian sejumlah alutsista. Panjangnya daftar belanja militer TNI membuat anggaran Kemenhan melambung hingga Rp 136,9 Triliun untuk tahun 2021. lebih tinggi dari 2019 yang mencapai Rp 115,35 triliun. Sebagian besar alutsista yang diincar umumnya untuk kekuatan TNI AL dan AU. Seperti pesawat tempur Sukhoi 35, Rafale, F 16 Viper, pesawat angkut V 22 Osprey, MLRS Astros MK II, empat buah kapal fregat kelas berat Iver Huitfeldt Class yang
digadang gadang menggantikan enam fregat kelas Ahamd Yani yang akan purna bakti. Beruntung TNI AL kini sudah memiliki lima kapal selam yang dapat memperkuat kekuatan bawah laut TNI AL. Jumlah itu masih di bawah dari 12 kapal selam yang ditargetkan selama ini.
Meski nasib pesawat tempur kelas berat SU 35, Rafale, 16 Viper, belakangan muncul kabar Eurofighter Typhoon dan sebuah fregat kelas Bremen bekas AL Jerman belum jelas mana yang akan tiba di tanah air lebih dahulu, namun setidaknya hal itu merupakan pertanda adanya kebutuhan mendesak yang harus segera dipenuhi. Mengingat konflik Natuna bisa pecah setiap saat. Prinsip Jangan menunggu musuh, gebuk dahulu sebelum masuk wilayah NKRI, tampaknya menjadi pilihan terakhir bila konflik di Natuna pecah.
Selama ini, kekuatan TNI AL lebih banyak didominasi kapal cepat berukuran kecil yang dilengkapi rudal ataupun fregat berukuran menengah. Namun, TNI AL belum memiliki kapal perang berkemampuan tempur di laut lepas atau ocean going. Seperti fregat kelas berat yang memiliki bobot diatas 5 ribu ton atau destroyer. Kapal perang terbesar yang dimiliki TNI AL adalah fregat kelas Ahmad Yani, eks AL Belanda yang dibeli 1977 hingga 1980 yang berbobot sekitar 2000 ton. Namun, hadirnya fregat kelas Martadinata 2 unit dari rencana 6 unit dan Korvet Sigma kelas diponegoro 4 unit dan korvet kelas Bung tomo 3 unit yang jauh lebih modern menjadi angin segar bagi TNI AL. Kehadirannya akan memperkuat korvet eks Jerman Timur kelas Patimura dan Fatahillah yang lebih dahulu memperkuat TNI AL.
Karena itu pengadaan kapal penempur kelas berat seperti fregat berbobot diatas 6 ribu ton atau destroyer oleh PT PAL tampaknya menjadi kebutuhan mendesak. Mengingat luasnya wilayah Indonesia dan marwah sebagai negara terbesar di Asia Tenggara yang harus dijaga. Hal itu salah satunya dibuktikan dengan membangun sendiri kapal penempur kelas berat yang mampu bertarung di laut lepas dalam jumlah yang cukup.
Begitupula kekuatan TNI AU yang hanya mengandalkan 32 F 16 Block 52 dan 16 unit Sukhoi 30/27 sebagai tulang punggung rasanya masih jauh dari mencukupi. Terutama dalam menghadapi keganasan F-18 Hornet AS, F 35 maupun J-10, J-11, SU 30 dan SU 35 Cina. Menanti hadirnya pesawat tempur baru masih perlu waktu beberapa tahun lagi, sedangkan konflik Natuna bisa meletus setiap saat. Pilihan paling cepat adalah membeli pesawat tempur bekas yang memiliki jam terbang sedikit, meski hal ini harus menuai pro dan kontra karena pembelian alutsista harus disertai transfer of technology (TOT). Sedangkan pembelian senjata bekas, tidak ada kesepakatan TOT di dalamnya.
Proyek pesawat tempur KFX/IFX hasil kerjasama Indonesia dan Korea Selatan yang masih tersendat karena masalah biaya sebaiknya segera diselesaikan. Pembangunan kekuatan udara yang mandiri dan kuat, akan mengurangi ketergantungan Indonesia dengan negara pemasok. Indonesia akan mampu membangun pesawat tempur sesuai kebutuhan sendiri tanpa harus banyak bergantung dari negara lain. Ini akan membuat Indonesia kian diperhitungkan sebagai kekuatan besar di kawasan Asia Tenggara.
Pengalaman masa lalu ketika F-16 TNI AU tidak dapat beroperasi karena embargo suku cadang dari AS menyusul kasus Timor Timur, menjadi pelajaran berharga arti kemandirian sebuah bangsa khususnya dalam pengadaan alutsista. Karena dalam bisnis alutsista tidak mengenal istilah pembeli adalah raja. Produsen dapat menjual persenjataan sejenis ke negara lain dengan kemampuan yang lebih rendah dari yang dimilikinya atau menolaknya dengan berbagai alasan.
Kini kemerdekaan Indonesia telah berusia 75 tahun. Bila menilik arti kemerdekaan dan kedaulatan sebuah bangsa yang besar seperti Indonesia yang harus dipertahankan, maka disitulah perlunya kemandirian investasi alutsista. Investasi itu bisa ditandai dengan
ditingkatkannya kemandirian dalam industri alutsista canggih setidaknya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Karena pembangunan ekonomi bangsa tidak akan berjalan mulus tanpa adanya jaminan keamanan memadai. Begitu pula kemandirian dalam industri pertahanan tidak akan terbentuk tanpa adanya ekonomi yang kuat.
*) Penulis adalah jurnalis republika.co.id