REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Enam tahun lalu, dalam satu acara televisi swasta, BJ Habibie berbicara cukup emosional soal proyek pesawat nasional N250 yang dimatikan oleh Dana Moneter Internasional (IMF).
Proyek pesawat itu, ketika itu, dianggap tidak sesuai dengan program penyehatan ekonomi Indonesia yang ditangani oleh IMF. Berbicara dalam acara 'Mata Najwa' Habibie masih amat lugas dan tegas mengungkapkan apa yang terjadi dibalik penghentian proyek strategis pesawat yang dijuluki Gatot Kaca itu.
Kini, pesawat yang dirancang Habibie dan insinyur dalam negeri itu pindah rumah. Tidak lagi di hangar PT Dirgantara Indonesia di Bandung. Melainkan ke sebuah Museum Dirgantara di Yogyakarta.
Pesawat dipreteli satu demi satu. Badannya yang panjang diangkut di atas sebuah truk besar. Sabtu (22/8) dijadwalkan paket pesawat tiba di Yogyakarta. Pada Selasa (25/8) pesawat bakal diserahterimakan oleh TNI AU kepada museum.
Berikut petikan wawancara Habibie yang digelar pada 5 Februari 2014 mengenai matinya proyek pesawat strategis N250 tersebut:
...kenapa biasanya di tempat tempat lain, pesawat terbang, lihat saja di amerika, industri yang sudah anjlok dibail out, opel yang anjlok, saya (IPTN-red) yang sehat di depan pintu mendapatkan FAA, malah ditikam dimatikan...model mana itu... (BJ Habibie)
Masih marahkah Pak Habibie sekarang? Apa yang dulu diperjuangkan anak bangsa sekarang kini sepertinya sia-sia?
Saya...tidak marah. Kecewa! Tapi saya tidak mau mengeluarkan waktu dan tenaga saya untuk mengeluh dan menyalahkan siapa saja sehingga ini terjadi. Saya harus lihat dari sudut positifnya.
Jangan lupa ya, saya membuat industri strategis itu bukan ide saya. (Itu) ide bangsa Indonesia yang dicetuskan oleh Bung Karno. Saya itu diindoktrinasi.
Waktu pesawat itu terbang, saya plong! Karena indoktrinasi yang saya yakin saya harus laksanakan itu telah saya berikan kepada bangsa ini.
Saya mulai (proyek pesawat-red) dengan 20 orang. Waktu saya jadi wapres. saya serahkan industri strategis dengan 48 ribu orang dengan turnover 10 miliar dolar AS. Nah sekarang?
Dan bukan itu saja, saya sudah tandatangani kontrak untuk mengadakan (pesawat) di Alabama, di Mobile, saya buat assembly line dari N250. Dan saya buat di Stuttgart assembly line dari N250. Dan ini sudah 80 persen FAA sertifikat, sudah terbang! Tiba tiba saja disuruh berhenti! Yang bener aja dong!
Yang suruh berhenti Pak Harto (Presiden Soeharto-red) ketika itu?
Bukan! Pak Harto yang menandatangani kerjasama (Letter of Intent-red) dengan IMF. Dia tandatangani. Di sekitar Pak Harto yang menasehati bukan menristek. Saya tidak sama sekali diikutsertakan!
Anda tidak tahu sampai di detik detik terakhir pun tidak tahu bahwa..?
Tidak tahu! Saya tidak pernah lihat itu (letter of intent dengan IMF-red) Tidak diikutsertakan! Saya hanya dapat surprise!
Penonton tertawa
Nah di dalam hal itu waktu ditentukan ini harus berhenti. Pendanaan (proyek pesawat) gampang. Dia (LoI) hanya pendanaan berhenti. Saya bilang bagaimana? Saya dapat dana dari pemiliknya yang 100 persen dari rakyat pemerintah.
Dari dalam negeri?
Ya jelas dong. Ndak pinjaman dari luar. Saya dapat dari situ. Saya disuruh berhenti. Alasannya: Utang-utang kita banyak. Utang mana? Utang swasta. Bukan utang BUMN. (Proyek pesawat) dihentikan, yang mengambil alih (proyek) dia bubarkan. Yang bersangkutan pernah datang kepada saya dan mengatakan, yang menolak melaksanakan itu adalah IMF. IMF yang perintahkan.
Eh..kalau IMF datang kemari dia katakan mau bantu tapi saya harus matikan itu perusahaan perusahaan, saya tendang keluar itu IMF! Maafkan ya. Bukan saya arogan.
Tapi ketika Bapak BJ Habibie menjadi presiden pun, bapak tidak hidupkan lagi. Bapak biarkan saja itu industri ditutup. Padahal Anda ada kuasa tertinggi?
Ya. Itu yang mereka nantikan. Kalau andaikata saya laksanakan itu, mereka: "Hahahaha.. he is only airplane maker, he can't never make Indonesian." Itu yang mereka tunggu.
Saya kan menghadapi inflasi tinggi, suku bunga tinggi, nilai rupiah anjlok 20 persen dari nilainya (atas dolar AS-red). Yang tadi sudah melampaui Rp 16 ribu mau ke Rp 20 ribu (per dolar AS-red).
Negara tetangga, saya sebut saja namanya Lee Kuan Yew, kalau Habibie naik, wah akan melampaui Rp 20 ribu (nilai tukar rupiah kepada dolar AS-red).
Orang antre, makanan kurang, PHK (pemutusan hubungan kerja-red) banyak, itukan lebih penting daripada pesawat terbang itu. Saya dahulukan ini dulu. Jadi saya mengalah untuk menang. Yang menang itu siapa? Rakyat!
Penonton bertepuk tangan
Anda mengalah pada cita-cita besar dan juga visi besar. Padahal begitu banyak waktu yang Anda curahkan untuk cita-cita besar ini. Waktu yang seharusnya bisa untuk anak-anak, Mas Ilham, juga untuk Ibu Ainun. Anda rela menghabiskan begitu banyak waktu yang akhirnya kemudian menjadi sia-sia?
Bagi saya tidak sia-sia. Karena pesawat terbang itu pada 10 Agustus 1995 mengenang 50 tahun Indonesia merdeka, kita membuktikan kepada diri kita sendiri bahwa kita sama seperti orang Jerman dan yang lain, bisa membuat pesawat terbang komersial!