REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekelompok anak muda yang menamakan diri Koalisi Aksi Milenial Indonesia (KAMI) mengkritisi deklarasi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) di Tugu Proklamasi Jakarta, beberapa hari yang lalu sebagai gerakan politik. Mereka juga mempertanyakan mengapa Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan diam saja.
“Kami melakukan aksi penolakan pada saat deklarasi sebagai bentuk kritikan kepada deklarator KAMI,” kata juru bicara Koalisi Aksi Milenial Indonesia, Mohammad Daud di Jakarta, Jumat (21/8).
Meski demikian, Daud mengatakan, pihaknya menghargai deklarasi KAMI sebagai hak politik warga negara yang dijamin oleh undang-undang. Begitu juga dengan aksi penolakan yang juga merupakan bagian hak politik KAMI sebagai warga negara.
“Oleh karena itu, tidak ada hak bagi para pendukung deklarasi KAMI untuk melarang kami mengekspresikan aspirasi kami,” katanya.
Seperti hak politik pendukung deklarasi dalam mengkritik pemerintah, kata Daud, pihaknya juga punya hak untuk mengkritik cara-cara yang mereka anggap tidak benar.
Menurut dia, deklarasi KAMi telah melanggar protokol kesehatan penanganan Covid-19 yang ditetapkan pemerintah. Di Tugu Proklamasi, kata dia, sudah dipasang pengumuman dari Gubernur Anies Baswedan tentang larangan melakukan kegiatan yang membuat kerumunan.
“Kegiatan deklarasi KAMI tersebut sangat jelas melanggar aturan gubernur,” katanya.
Daud mempertanyakan kemampuan para deklarator KAMI menegakkan aturan apabila cara-cara yang mereka lakukan juga melanggar aturan.
“Kenapa Gubernur DKI Jakarta diam saja," kata Daud.
Daud menilai pernyataan yang menyebutkan aksi KAMI sebagai gerakan moral adalah penipuan dan penyesatan. Menurut dia, deklarasi KAMI nyata-nyata gerakan politik yang dibungkus dengan nama gerakan moral.
“Landasan moral macam apa yang dilakukan dengan cara tipu-tipu,” ujarnya.
Daud menyebutkan, deklarasi KAMI dilakukan oleh orang-orang yang tidak sabar dengan proses politik pergantian pemerintahan secara konstitusional. Jika mereka mau bersabar, kata dia, 2024 adalah momen yang tepat untuk mereka tampil menyampaikan gagasan politiknya yang lebih baik dari pemerintah sekarang.
Dengan begitu, menurut dia, rakyat bisa tertarik untuk memilihnya. Jika mereka tidak sabar hingga 2024, kata Daud, ada dua kemungkinan alasan kenapa mereka tidak mengambil jalan konstitusional itu.
Pertama, Daud menjelaskan, KAMI sadar jualan gagasan mereka tidak laku karena berdasar sentimen SARA, bukan inovasi sebagai solusi masalah yang ada. Kedua, KAMI tidak percaya diri karena sadar rata-rata sudah uzur. Sehingga, bakal tergusur oleh tokoh-tokoh muda yang lebih segar dan cerdas.
“Daripada gerakan KAMI membuat kegaduhan di mana-mana, lebih baik seluruh komponen bangsa bergotong-royong mencari jalan keluar agar pandemi Covid-19 ini cepat berlalu. Sehingga, masyarakat dapat beraktivitas seperti biasa dan pemerintah dapat bekerja dengan baik,” ujarnya.