Sabtu 22 Aug 2020 23:57 WIB

Apakah Nabi Ibrahim AS Seorang Yahudi, Nasrani, atau Muslim?

Banyak pertanyaan tentang apakah Nabi Ibrahim Muslim, Yahudi, atau Nasrani.

Banyak pertanyaan tentang apakah Nabi Ibrahim Muslim, Yahudi, atau Nasrani. Ilustrasi Padang Pasir
Foto: Pixabay
Banyak pertanyaan tentang apakah Nabi Ibrahim Muslim, Yahudi, atau Nasrani. Ilustrasi Padang Pasir

REPUBLIKA.CO.ID, Semua nabi termasuk Ibrahim terpelihara atau dijaga oleh Allah dari kekufuran, syirik, serta melakukan dosa besar dan dosa kecil yang menghinakan. Maka, mustahil bagi seorang penyampai dakwah rabaniah dan pembawa misi ilahiah tidak mengenal Tuhan yang ia sembah.

Imam al-Qadli 'Iyadl (W. 544 H/ 1149 M) mengatakan dalam kitabnya asy-Syifa: ''Sesungguhnya para Nabi itu ma'shum (terjaga), baik sebelum maupun sesudah menjadi nabi--dari kebodohan, keraguan (walau sedikit saja) dan ketidakmengenalan terhadap Tuhan dan sifat-sifat-Nya.'' 

Baca Juga

Allah berfirman dalam QS Al-Anbiya' ayat 51: 

لَقَدْ آتَيْنَا إِبْرَاهِيمَ رُشْدَهُ مِنْ قَبْلُ وَكُنَّا بِهِ عَالِمِينَ

“Dan sesungguhnya telah Kami anugerahkan kepada Ibrahim Rusydahu (hidayah petunjuk kebenaran) sebelum ia mencapai umur balig.” (tafsir Imam Mujahid W. 104 H). Ayat ini menjelaskan bahwa sebelum Nabi Ibrahim berdakwah, ia telah diberikan iman yang kokoh dan ma'rifat/pengetahuan bahwa hanya Allah Tuhannya yang layak disembah, bukan bulan, bintang, ataupun matahari.

Sedangkan konteks surat Al-An'am ayat 76-78 tersebut di atas adalah disebabkan kondisi (medan dakwah) kaum Nabi Ibrahim, yakni kaum Harran yang gandrung terhadap ilmu astronomi, bahkan mereka sampai menyembahnya (bintang, bulan, dan matahari).

Oleh sebab itu, Allah mengutus Nabi Ibrahim kepada mereka dengan membawa hujjah qawiyah (argumentasi yang kuat). Bahwa, Apakah layak sesuatu yang terbit lalu tenggelam, sesuatu yang berubah, dan tidak dapat memberikan manfaat dan mudarat untuk dijadikan Tuhan? Oleh karena itu, Ibrahim berkata kepada kaumnya La uhibbul afilin (Saya tidak suka sesuatu yang tenggelam). 

Dalam tafsir Jalalain (karya Jalaluddin al-Mahalli W. 864 H/ 1459 M dan Jalaluddin as-Suyuthi W. 911 H/1505 M) dijelaskan: ''Saya tidak suka sesuatu yang tenggelam untuk dijadikan Tuhan, sebab Tuhan itu tidak patut mempunyai sifat yang berubah-rubah, bertempat, dan berpindah-pindah. Karena, sifat-sifat itu hanya pantas disandang oleh makhluk.''

Adapun dalil lain yang menunjukkan bahwa Nabi Ibrahim tidak pernah mencari-cari Tuhan atau kebingungan dan mengeluh siapa Tuhannya di antaranya; QS Al-An'am ayat 79: 

إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا ۖ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ

“Aku hadapkan wajahku kepada (Allah) yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepasrahan (mengikuti) agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik.”

QS Ali Imran ayat 67: 

مَا كَانَ إِبْرَاهِيمُ يَهُودِيًّا وَلَا نَصْرَانِيًّا وَلَٰكِنْ كَانَ حَنِيفًا مُسْلِمًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

“Ibrahim bukanlah seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, tetapi dia adalah seorang yang hanif/lurus lagi Muslim (seorang yang tidak pernah mempersekutukan Allah dan jauh dari kesesatan) dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang musyrik (tidak pernah musyrik sama sekali baik sebelum menjadi nabi maupun sesudahnya).”

Sejatinya, tafsir makna surat Al-An'am 76-78 berdasarkan keterangan tersebut di atas adalah sebagaimana berikut: ''Ketika malam telah menjadi gelap, Nabi Ibrahim melihat sebuah bintang lalu ia menyatakan, ''Inikah Tuhanku? sebagaimana kalian kira?". Maka, ketika bintang itu terbenam dia menyatakan, ''Aku tidak suka kepada yang terbenam'' yakni layakkah sesuatu yang terbenam dijadikan Tuhan sebagaimana yang kalian yakini? Maka, ketika kaumnya tidak memahami maksud pernyataan Nabi Ibrahim tersebut, bahkan mereka tetap menyembah bintang, Nabi Ibrahim menyatakan untuk kedua kalinya ketika ia melihat bulan dengan pernyataan yang sama ''Inikah Tuhanku?''.

Demikian Nabi Ibrahim mengulangi kembali pernyataannya ketika melihat matahari ''Inikah Tuhanku?''. Lalu, ketika Nabi Ibrahim tidak dapat memberikan kesadaran/hidayah terhadap kaumnya, ia menyatakan kepada kaumnya, inni bariun mimma tusyrikun (Sungguh, aku berlepas diri [tidak bertanggung jawab dan tidak ikut menyembah bintang] dari apa yang kalian persekutukan).

Kesimpulannya, Ibrahim sebagai nabi dan rasulullah telah mengenal dan beriman kepada-Nya jauh-jauh hari sebelum menjadi nabi sebagaimana para nabi lainnya. Tidak pernah ada keraguan sedikit pun akan keberadaan Allah Sang Pencipta Semesta. Dan, ketuhanan hanya layak disandang oleh Allah. Tiada pencipta yang berhak disembah kecuali Allah.

Bukan seperti asumsi sebagian orang bahwa Nabi Ibrahim, suatu ketika, pernah kebingungan, ragu, lalu mencari siapa Tuhannya. Karena, semua para nabi mustahil melakukan atau jatuh dalam kesesatan, kekufuran, syirik, dosa besar, dan dosa kecil yang menghinakan, baik sebelum maupun sesudah menjadi nabi. Karena, para nabi dan rasul diutus sebagai Hudatan Muhtadin (orang yang mencerahkan dan tercerahkan) guna menyampaikan risalah kebajikan kepada seluruh alam semesta.   

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement