REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Isu naturalisasi lima pemain asal Brasil menjadi perbincangan di tengah pandemi Covid-19. Dua pemain Thiago Apolinario (19 tahun) dan Maike Henrique Irine de Lima (19 tahun) saat ini berlatih di Persija Jakarta.
Selanjutnya, dua lagi adalah Pedro Bartoli Jardim (18 tahun) dan Hugo Guilherme Correa Grillo (19 tahun) telah dikirim ke klub Arema Malang. Sedangkan, satu pemain lagi adalah Robert Junior Rodrigues Santos (19 tahun) berlabuh bersama klub Madura United.
Sejujurnya, entah siapa agen dari para pemain itu semua. Semua itu terjadi seperti tiba-tiba saja kalau para pemain asing itu sudah berada di Indonesia. Jika kita membuka lembaran ingatan, kejadian ini sesunguhnya mirip dengan peristiwa pada 14 tahun silam. Tepatnya, saat PSSI dipimpin oleh Nurdin Halid pada 2006.
Pada saat itu, lima pemain Brasil didatangkan. Mereka adalah Carlos Pablo de Aguair, Morillo Avante de Luzia, Fabricio Mota, Tomaz da Silva, dan I Thamar Rangel. Kedatangan mereka secara jelas dijanjikan untuk dinaturalisasi sebagai pemain timnas.
Sayangnya, kehadiran mereka yang tiba-tiba itu batal dilakukan karena ditentang para mantan pemain timnas Indonesia serta sejumlah praktisi sepak bola nasional yang bersikap kritis. Dan, lima pemain tersebut pun tak terdengar namanya sampai detik ini. Bahkan, dari kelima nama itu, tak ada satu pun yang telah menunjukkan prestasi.
Dengan kejadian di masa lalu, apakah Indonesia ingin membeli kucing dalam karung untuk kali kedua? Sementara itu, secara defenisi, naturalisasi adalah proses perubahan status penduduk asing menjadi warga suatu Negara. Di Indonesia diatur dalam UU no 12 Tahun 2006. Untuk naturalisasi ini dibagi menjadi dua, yakni istimewa dan biasa.
Naturalisasi istimewa didapat karena orang asing tersebut dinilai telah berjasa kepada negara. Sedangkan untuk proses naturalisasi biasa harus melalui proses panjang. Minimal tinggal 10 tahun beruntun.
Mungkin kita masih ingat betapa sulitnya Susy Susanti dan Alan Budikusuma, sang peraih medali emas Olimpiade, itu untuk mendapatkan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI). Padahal, keduanya sudah memberikan prestasi membanggakan.
Kini, sungguh terasa sangat aneh karena naturalisasi biasa melalui jalur sepak bola itu menjadi terkesan sangat mudah. Ini seperti sebuah proyek bisnis saja. Padahal, naturalisasi bukan solusi terkait dengan mandeknya prestasi timnas. Ini Hanya menjadi terkesan delusional saja.
Naturalisasi memberikan kemudahan kepada orang asing untuk mendapatkan pekerjaan lebih panjang di sepak bola nasional. Iming-iming membela timnas Merah Putih. Pilihan yang dilakukan karena mereka memang tidak punya peluang membela negara asalnya.
Akhirnya, naturalisasi yang dilakukan hanya akan menjadi hal mubazir. Betapa banyak yang nyatanya tidak memberikan manfaat buat peningkatan prestasi timnas. Sebaliknya, yang ada justru hanya mengubur peluang pemain lokal untuk secara membanggakan dapat membela negaranya. Jalan instan ditempuh dengan melupakan pembinaan. Padahal, FIFA sendiri kini mulai memperketat naturalisasi.
Sekali lagi, investasi terbaik jika ingin mendapatkan timnas yang hebat adalah membina anak bangsa sendiri. Indonesia negara besar. Merdeka lewat kekuatan sendiri. Naturalisasi itu sesungguhnya Hanya membunuh potensi anak negeri dan bukti ketidakpercayaan diri.
Jadi, tugas pengurus PSSI harusnya dapat melakukan pembinaan pemain produk dalam negeri untuk berprestasi. Sekali lagi membina, bukan membeli.
(Ditulis oleh Akmal Marhali/Koordinator Save Our Soccer)