REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Salimah Etty Praktiknyowati menyampaikan keprihatinan mendalam saat mengikuti diskusi webinar bertajuk 'Pergeseran Geopolitik Timur Tengah pasca Perjanjian UEA-Israel dan Ledakan Lebanon serta Respons Kebijakan Luar Negeri RI' pada Sabtu (22/8).
Menurut Etty, normalisasi hubungan UEA dengan Israel adalah bentuk yang semakin mengkhawatirkan terhadap kondisi rakyat Palestina, khususnya perempuan, anak, dan keluarga yang dijajah oleh Israel.
"Normalisasi ini adalah sebuah pembenaran penjajahan bahkan menjadi dukungan dari UEA atas kezaliman dan kebrutalan Israel,"
Ia mengingatkan, kemerdekaan adalah hak segala bangsa sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945. Hak untuk merdeka juga dijamin dalam Universal Declaration of Human Rights.
"Namun hal itu tidak dirasakan rakyat Palestina. Sejak tahun 1948, Israel melakukan pendudukan atas negeri Palestina. Rakyat Palestina dizalimi, diusir, dan mengalami berbagai penyiksaan. Bahkan Masjid Al Aqsa dibakar," ujarnya.
Secara historis, Palestina memiliki kedekatan hubungan dengan Indonesia. Palestina merupakan negara kedua yang mengakui kemerdekaan RI setelah Mesir. Presiden Soekarno berkomitmen untuk membela kemerdekaan Palestina.
"Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menentang penjajahan Israel," kata Etty mengungkapkan ucapan Presiden pertama RI.
Karena itu Etty menegaskan, Salimah bersama sebelas ormas yang tergabung dalam Koalisi Perempuan Indonesia untuk Al Quds dan Palestina (KPIQP) sepakat mendukung dan membantu perjuangan rakyat Palestina dalam bentuk moril maupun materil.
"Penjajahan Israel terhadap rakyat Palestina adalah tindakan yang tidak bisa dibiarkan. Salimah sangat menentang penjajahan karena akan mengorbankan perempuan, anak, dan keluarga yang tidak terlibat dalam peperangan.SPalestina adalah negeri para nabi yang di dalamnya terdapat masjid Al Aqsa yang diberkahi," jelasnya.