REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR Netty Prasetiyani Aher mempertanyakan, manfaat dari penggunaan buzzer oleh pemerintah. Menurutnya, dana sebesar itu lebih baik disalurkan untuk program yang berdampak langsung ke masyarakat.
Oleh karena itu, pemerintah perlu menjelaskan tujuan penggunaan influencer dalam proses komunikasi publik. “Saya khawatir jika tujuannya untuk memengaruhi opini publik dengan cara instan dan masif agar setuju atau membenarkan kebijakan pemerintah,” ujar Netty lewat keterangan tertulisnya, Ahad (23/8).
Jika klaim anggaran yang dikeluarkan untuk buzzer itu benar, membuat komunikasi di ruang publik menjadi tidak sehat. Karena mengacaukan proses penyerapan informasi secara natural.
“Masyarakat jadi bias karena informasi yang diberikan influencer cenderung tendensius, subjektif dan berpihak pada pemerintah," ujar Netty.
Dia mengimbau, agar pemerintah membuat kebijakan dan program pembangunan yang benar-benar menjadi solusi atas persoalan rakyat. “Jika kebijakan dan programnya sudah bagus, saya pikir pemerintah harus percaya diri bahwa rakyat akan mendukung," ujar Netty.
Sebelumnya, Indonesian Corruption Watch (ICW) mengungkapkan bahwa pemerintah telah menghabiskan dana Rp 90,45 miliar untuk belanja jasa influencer. Dana puluhan miliar itu digunakan pemerintah pusat mulai dari 2017 hingga 2020.
Angka tersebut didapat dari hasil penelusuran ICW pada situs Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) sejumlah kementerian dan lembaga. Pengumpulan data dilakukan pada 14 hingga 18 Agustus 2020 menggunakan kata kunci media sosial atau social media, influencer, key opinion leader, komunikasi dan Youtube.
"Terdapat 34 Kementerian, 5 LPNK, dan 2 lembaga penegak hukum yakni, Kejaksaan RI dan Kepolisian RI," kata peneliti ICW Egi Primayogha.