REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam pandangan Ibnu Rusyd, perbuatan dusta atau bohong dapat dipergunakan demi pencapaian kepentingan umum suatu negara oleh orang-orang pemerintah yang sadar bahwa mereka berbohong. Kadang-kadang, lebih baik tidak menunjukkan apa yang sesungguhnya kepada seseorang atau kelompok daripada menunjukkan kebenaran apa adanya.
Inilah yang oleh umat Islam mayoritas bertentangan dengan pandangan Alquran maupun hadis Nabi SAW yang memerintahkan untuk senantiasa jujur. Katakan yang benar, walau pahit sekalipun. Andai Fatimah binti Muhammad berbohong, akan saya potong tangannya. Ini adalah bukti bahwa Rasul SAW sangat tidak menyukai ketidakjujuran.
Barang siapa yang berbohong atas namaku, tunggulah siksa baginya di neraka. Demikian penegasan Rasul SAW atas orang yang suka berbohong.
Menurut Ibnu Rusyd, tipe dusta yang dimaksud dalam filsafat berbeda dengan sebuah cerita yang seharusnya dikatakan. Ini demi kebaikan. Ia memberi contoh tentang cerita orang dalam gua (The Allegory of the Cave). Menurutnya, ini contoh yang baik seperti halnya cerita tentang beberapa lapisan jiwa manusia yang ada pada kelompok yang berbeda-beda dalam masyarakat.
Menurut Ibnu Rusyd, setiap cerita hendaknya tak perlu ada dalam karya-karya filsafat. Karena cerita-cerita tersebut lebih tepat digunakan di dalam menjelaskan sesuatu kepada orang-orang awam yang tidak dapat menghargai kekuatan argumen rasional.
Dengan berpijak pada prinsip bahwa para filsuf hendaknya tetap berpegang teguh pada dasar pemikiran yang bersifat demonstratif, cerita-cerita seperti itu hendaknya ditangguhkan saja. Argumen seperti ini, tambahnya, dapat dipergunakan jika memang tidak ada lagi argumen lain yang dapat diberikan dan agar memberi tempat pada Plato yang merasa tak dapat menciptakan cara yang lebih meyakinkan dan lebih rasional.
Contoh lainnya adalah mengenai hakikat Tuhan. Bila dalam pemikiran Aristoteles, Tuhan dipahami hanya sebagai penggerak pertama bagi gerakan alam materi atau sebagai penggerak yang tidak bergerak, maka dalam filsafat Islam Tuhan dipahami sebagai pencipta alam semesta.
Bila dalam filsafat Aristoteles, Tuhan dipahami sebagai wujud yang hanya mengetahui diri-Nya sendiri dan tidak mengetahui selain-Nya; dalam filsafat Islam, Tuhan dipahami mengetahui diri-Nya, Tuhan juga mengetahui segenap alam yang diciptakan-Nya.
Bila dalam filsafat Yunani dapat dijumpai paham hancurnya jiwa manusia bersama hancurnya badan, seperti yang diuraikan dalam filsafat Aristoteles dan Demokritos, atau paham reinkarnasi jiwa manusia, seperti pada filsafat Pitagoras dan Plotinus, dalam filsafat Islam, tidak dijumpai kedua paham itu.
Dalam filsafat Islam dikembangkan konsep bahwa jiwa manusia tidaklah hancur bersama hancurnya badan, tidak pula mengalami reinkarnasi, tapi kekal dalam kebahagiaan bila suatu waktu ia berpisah dari badan dalam keadaan suci dan harus mengalami penderitaan bila dalam keadaan kotor.
Jadi, filsafat klasik Islam bukanlah sekadar filsafat Yunani yang diberi baju Islam. Filsafat Yunani mengalami perkembangan atau Islamisasi di tangan para filsuf Muslim. Para filsuf Muslim itu meyakini bahwa filsafat yang mereka tampilkan adalah filsafat yang sejalan dengan kebenaran friman Tuhan yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW.