REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi III DPR RI menggelar rapat kerja dengan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly untuk membahas Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (24/8). Dalam rapat tersebut, Yasonna menyampaikan pandangan Presiden RI terkait RUU MK.
Yasonna mengatakan Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman perlu dijamin kemerdekaannya berdasarkan UUD 1945. Namun, kemerdekaan kekuasaan kehakiman tetap perlu diatur guna mencegah terjadinya tirani yudikatif dalam penyelenggaraan suatu sistem pemerintahan yang demokratis.
"Karena itu, pengaturan mengenai jaminan kemerdekaan kekuasaan kehakiman di Indonesia, khususnya dalam konteks Mahkamah Konstitusi sebagai the sole interpreter and the guardian of the constitution, mutlak diperlukan," kata Yasonna dalam rapat yang juga disiarkan secara daring tersebut.
Dengan demikian, kata Yasonna, peran Mahkamah Konstitusi sebagai penafsir tunggal dan penjaga konstitusi dapat lebih optimal sesuai harapan para pencari keadilan. Besarnya kewenangan Mahkamah Konstitusi dan luasnya dampak dari suatu putusan Mahkamah Konstitusi menjadi alasan untuk mengatur pemilihan sembilan orang untuk menjadi hakim MK.
Menurut Yasonna, dinamika pengaturan mengenai syarat untuk menjadi Hakim Konstitusi, baik melalui perubahan UU/Perppu maupun melalui Putusan Mahkamah Konstitusi, menunjukkan bahwa harapan masyarakat dari waktu ke waktu terhadap kualitas ideal Hakim Konstitusi semakin meningkat. "Sehingga pengaturan mengenai syarat dan mekanisme pengangkatan dan pemberhentian Hakim Konstitusi perlu diatur lebih baik secara proporsional, namun tetap konstitusional," ujar dia.
Berkaitan dengan materi muatan yang diatur dalam Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Yasonna menyampaikan lima poin pertimbangan pembahasan. Lima poin itu pertama batas usia minimum hakim konstitusi.
Kedua, persyaratan hakim konstitusi yang berasal dari lingkungan peradilan Mahkamah Agung. Ketiga, batas pemberhentian hakim konstitusi karena berakhir masa jabatannya.
Keempat, anggota Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang berasal dari akademisi yang berlatar belakang di bidang hukum. Kelima, legitimasi hakim konstitusi yang sedang menjabat terkait dengan perubahan Undang-Undang ini.
Pemerintah juga menyampaikan beberapa usulan perubahan substansi misalnya yang berkaitan dengan teknik penyusunan dan perubahan redaksional. Namun, pemerintah bersedia dan terbuka untuk melakukan pembahasan secara lebih mendalam terhadap seluruh materi muatan.
Tanggapan pemerintah mengenai Rancangan Undang- Undang tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi secara terperinci akan disampaikan dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). Wakil Ketua Komisi III DPR RI Adies Kadir yang memimpin rapat tersebut pun menerima pandangan presiden yang diserahkan. Seluruh fraksi menyetujui pembahasan lebih lanjut.
Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Ketiga atas Undang Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi ini merupakan usulan DPR RI. Usulan disampaikan oleh Ketua DPR-RI kepada Presiden melalui surat Nomor LG/4760/DPR RI/IV/2020 pada tanggal 3 April 2020 lalu.