Senin 24 Aug 2020 19:11 WIB

Analisis: Mengapa Arab Saudi Tolak Hubungan dengan Israel?

Sejumlah negara mengapresiasi Arab Saudi tolak hubungan Israel.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Nashih Nashrullah
Sejumlah negara mengapresiasi Arab Saudi tolak hubungan Israel. Bendera Israel dan Arab Saudi
Sejumlah negara mengapresiasi Arab Saudi tolak hubungan Israel. Bendera Israel dan Arab Saudi

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON – Arab Saudi pada Rabu pekan lalu memastikan tidak akan menjalin hubungan diplomatik dengan Israel sampai perdamaian dengan Palestina tercapai dan diakui secara internasional. Hal ini disampaikan Arab Saudi menyusul normalisasi hubungan antara Israel dan Uni Emirat Arab (UEA).

Abdul Sattar Ghazali, pemimpin redaksi Journal of America, dalam sebuah artikel berjudul "Why Saudi Arabia declines relations with Israel?" dalam Milli Gazette, menilai langkah Saudi itu untuk membendung persepsi yang berkembang di Dunia Arab dan Muslim, terutama setelah UEA menjalin hubungan dengan Israel.

Baca Juga

Arab Saudi sebagai negara kerajaan yang lekat dengan gelar "Penjaga Dua Masjid Suci" di Makkah dan Madinah, tentu tidak boleh membuat marah dan mengabaikan jutaan orang Arab dan Muslim yang menuntut keadilan bagi Palestina. Apalagi Saudi juga merupakan ketua dari 57 anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI).

Namun, negara-negara Muslim besar seperti Turki, Pakistan, dan Malaysia secara tegas mengutuk kesepakatan UEA-Israel. Indonesia, negara Muslim terbesar di dunia, mengungkapkan ketidaksenangannya dengan tidak berkomentar. Kehebohan yang diciptakan kesepakatan UEA-Israel mereda ketika Kesultanan Oman melalui Menteri Luar Negerinya, Yusuf bin Alawi, berbicara dengan Menteri Luar Negeri Israel Gabi Ashkenazi setelah kesepakatan UEA-Israel.

enurut pernyataan tentang panggilan tersebut yang dikirim ke Middle East Eye, keduanya berbicara tentang perlunya memperkuat hubungan. Para menteri setuju untuk mempertahankan hubungan kontak langsung secara terus menerus dan melanjutkan dialog penting antara kedua negara untuk memajukan proses normalisasi di kawasan itu. Menteri intelijen Israel menyebutkan, Bahrain dan Oman bisa menjadi negara Teluk berikutnya yang mengikuti UEA dalam meresmikan hubungan dengan Israel.

David Hearst, pemimpin redaksi Middle East Eye, mengatakan kesepakatan UEA-Israel adalah realitas virtual. Ini akan terhempas oleh pemberontakan populer baru tidak hanya di Palestina tetapi di seluruh dunia Arab. 

Dia menunjukkan bahwa persentase orang Arab yang menentang pengakuan diplomatik Israel telah meningkat, bukan malah menurun, dalam dekade terakhir. Indeks Opini Arab mengukur tren ini. Pada 2011, 84 persen menentang pengakuan diplomatik. Pada 2018, angkanya mencapai 87 persen.

Hearst percaya bahwa kesepakatan UEA-Israel akan mendekatkan faksi-faksi Palestina. Hearst menambahkan, "Jika Netanyahu dan bin Zayed saling berbicara melalui telepon, demikian juga sekarang Mahmoud Abbas, Presiden Palestina, dan Ismail Haniyeh, pemimpin politik Hamas. 

Reaksi keras Otoritas Palestina terhadap kesepakatan Emirat disambut baik oleh Hamas. Sumber Hamas mengatakan kepada Arabi21 bahwa dia melihat posisi Palestina sebagai peluang untuk aksi politik dan lapangan bersama di Tepi Barat dan Jalur Gaza."

"Jika tujuan baru bersama antara dua faksi utama Palestina ini berlanjut, ini adalah awal dari akhir penangkapan aktivis Hamas di Tepi Barat oleh Keamanan Pencegahan Palestina. Ini pernah dipimpin Jibril Rajoub, yang sekarang menjadi Sekretaris Jenderal Fatah. Tapi hari ini Rajoub mengadakan konferensi pers dengan orang kedua Hamas, Saleh Arouri," jelas Hearst. 

Langkah-langkah demikian menjadi tanda bahwa pemulihan hubungan antara kedua pihak sedang dalam proses menemukan momentum. Rajoub, yang berbicara selama wawancara pers telekonferensi bersama dengan Arouri, mengatakan: "Kami akan memimpin pertempuran kami bersama di bawah bendera Palestina untuk mencapai negara Palestina yang merdeka dan berdaulat di perbatasan 1967 dan menyelesaikan masalah pengungsi di perbatasan dasar resolusi internasional."

Pengakuan UEA atas Israel tidak ada hubungannya dengan upaya untuk mengakhiri konflik. Tetapi ini tentang membangun tatanan regional baru antara diktator dan penjajah, dalam hal ini adalah diktator Arab dan penjajah Israel. Saat Amerika Serikat mundur sebagai hegemon regional, maka dibutuhkan yang baru.

"Perdagangan, telekomunikasi tanpa hambatan, perjalanan dan pengakuan antara Israel dan tetangga Teluk terkaya akan menjadi fakta di lapangan baru, para arsiteknya membayangkan, sama abadi seperti jalan yang melewati desa-desa Palestina dan permukiman itu sendiri. Tidak ada negosiasi yang dibutuhkan. Hanya bendera putih kekalahan," tambah Hearst.

Bahkan Hearst menyampaikan apa yang diyakininya soal perjuangan Palestina: "Saya cukup yakin orang-orang Palestina tidak akan mengibarkan bendera putih penyerahan pada hari ini, seperti yang akan mereka lakukan dalam tujuh dekade terakhir. Mereka tidak akan meninggalkan hak politik mereka.”  

 

Sumber: https://www.milligazette.com/news/8-international/33665-why-saudi-arabia-declines-relations-israel/ 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement