REPUBLIKA.CO.ID, NEW DELHI – Ledakan yang terjadi di Pelabuhan Beirut pada 4 Agustus lalu memenuhi syarat untuk disebut sebagai serangan 11/9 di Asia Barat. Namun, keadaan dan obyektivitas dua kejadian ini sama sekali berbeda.
Dalam artikel analisis yang diunggah jurnalis India, Saeed Naqvi, di Milli Gazette, menyebut tragedi 11/9 sebelumnya terjadi ketika Amerika Serikat yang gagah dan memenangkan Perang Dingin menghadapi gertakan neo-kontra menuju tujuan dominasi global yang komprehensif.
Osama bin Laden disebut menjadi kelinci dalam perlombaan ras greyhound itu. Ledakan di Beirut terjadi ketika Amerika Serikat dalam bayang-bayang dari apa yang terjadi dua dekade lalu. Presiden Donald Trump menyeret kakinya di atas ring tetapi tidak menjatuhkan pukulan, sementara Netanyahu di Israel menari-nari di sekitar ladang ranjau tuduhan korupsi.
Presiden Prancis, Emmanuel Macron, menghadapi protes rakyat besar-besaran yang muncul di Beirut hampir dua hari setelah ledakan terjadi. Di waktu yang sama, ia berjalan di sekitar area pelabuhan dengan otoritas lama.
Orang Prancis cenderung mengenakan kolonialisme di kehidupan mereka. Pada 1992 hingga 1994, kaum Liberal Kiri di Paris menggeliat kesakitan karena ketidakpedulian Eropa terhadap pembantaian Bosnia.
Saeed Naqvi lantas teringat akan percakapan singkat yang ia lakukan dengan seorang pejabat senior Prancis. Pejabat tersebut mengatakan, untuk menggeser keseimbangan kekuatan dari melawan orang Kristen di Lebanon adalah melawan Muslim di Bosnia.
Pemulihan keseimbangan semacam itu mungkin terlintas dalam benak Macron, setelah mengamati keadaan. Macron pernah berterus terang mengatakan, "Yang dibutuhkan sekarang adalah perubahan politik, ledakan seharusnya menjadi awal dari era baru".
Wartawan paling dihormati di Beirut, Robert Fisk, setelah berbicara dengan banyak saksi, menyebutkan rugi yang diakibatkan oleh ledakan tersebut dalam proporsi yang sesuai. Laut merugi 70 persen dari ledakan itu. Dengan kata lain, hanya 30 persen ledakan yang menewaskan 300 orang, 6.000 luka-luka dan 300 ribu tunawisma dalam populasi satu juta jiwa.
Seorang kolumnis Palestina terkemuka, yang pernah rutin mengikuti diskusi BBC, Abdel Bari Atwan, menyebut demonstrasi dan protes marah yang terjadi di Beirut, serta penggantungan patung pemimpin Hizbullah, Hasan Nasrallah, seolah-olah mengatakan, yang mereka inginkan adalah kepala Nasrallah.
Seorang jurnalis dari Middle East Center, Carnegie, menuliskan tajuk utama artikel yang berjudul, "Menghancurkan Lebanon untuk Menyelamatkannya". Artikel tersebut tetap menjadi cerita detektif.
Ke arah mana pun jarum kecurigaan mengarah, tetap menghasilkan teori konspirasi. Ledakan di Lebanon akan memprovokasi Hizbullah-Iran untuk bertindak, dan berefek membantu kekayaan Trump yang semakin menipis. Absurditas karya ini lantas diungkapkan oleh Mohammad bin Zayed dari Uni Emirat Arab yang muncul di Washington untuk merangkul Netanyahu.
Jika ada pembalasan untuk ledakan di pelabuhan, menara megah Trump akan menjadi yang pertama dalam barisan tembakan. Tidak akan ada yang terburu-buru berperang sampai semua penerima Trump yakin bahwa dia akan kalah.
Sejauh ini, semua pertempuran besar pasca 9/11 militer Amerika Serikat di Asia Barat terjadi di panggung sandiwara yang diberkahi dengan hidrokarbon atau jaringan pipa gas.
Secara umum, banyak yang melupakan keterlibatan Amerikat Serikat bahkan di Afghanistan, setelah kepergian Soviet. Keterlibatan ini untuk mendorong pipa gas Turkmenistan-Afghanistan-Pakistan-India (TAPI). Taliban akan mengontrol Afghanistan sementara Amerika akan mengontrol Taliban.
Carnegie lantas menyaksikan runtuhnya skema itu. Osama bin Laden memberi Amerika Serikat alasan untuk memasuki Afghanistan. Tapi Irak, Suriah, Libya, bahkan Sudan menarik orang Amerika Serikat untuk minyak, gas dan jaringan pipa mereka.
Cengkeraman Nasrallah terhadap Muslim non-GCC di kawasan itu, persenjataan misilnya yang tidak dapat dihitung, serta struktur pendukungnya yang andal di Iran yang memberikan mimpi buruk bagi Israel, adalah narasi yang layak dijual. Tetapi, harus ada sesuatu yang lebih menarik dalam campurannya.
Raksasa energi global berfokus pada cadangan gas terbesar dunia di Mediterania Timur. Nama-nama seperti Dick Cheney, Rupert Murdoch, Rothschild dan semua lainnya di klub ini muncul dari dokumen.
Bonanza gas berada di perairan teritorial Israel, Suriah, Lebanon, dan Siprus. Oleh karena itu, dalam energi kesombongan milik Tayyip Erdogan, matanya tertuju pada Siprus utara, di bawah pendudukan Turki dan membentangkan ladang gas ke Adana.
Sementara itu, Dewan Energi Dunia yang berbasis di London telah cukup lama meneliti 250 miliar barel minyak dari cekungan Shfela di selatan Yerusalem dan meluas ke laut.
The Wall Street Journal, mengutip Howard Jonas, CEO IDT Corporation yang berbasis di Amerika Serikat, menyebut ada lebih banyak minyak di bawah Israel daripada di bawah Arab Saudi."
British Petroleum sibuk di Mesir, sementara raksasa milik Prancis, Total, berada di Beirut. Tak heran Macron menavigasi para ahli untuk melintasi area pelabuhan yang hancur akibat ledakan itu.
Selain Hidrokarbon, sekarang ada kemungkinan mendesain ulang seluruh pelabuhan Beirut. Tujuannya, tidak hanya untuk perdagangan dan transportasi tetapi juga untuk eksplorasi gas di cakrawala.
Rusia, Iran, Qatar, dalam urutan yang sama, memiliki cadangan gas terbesar di dunia. Barisan tangguh ini sekarang memiliki lawan dengan tim yang terpantau kaya akan minyak dan gas. Kelompok terakhir inilah yang bergabung dengan Zayed UEA dan menyenangkan Trump sebelum pemilihan.
Mantan Duta Besar Saudi, Bandar bin Sultan begitu diidentikkan dengan Bush hingga memperoleh julukan, Bandar Bush. Duta besar UEA yang kuat, Yousef al Otaib, di Washington sejak 2008, lebih gesit. Jika Joe Biden menang, Otaiba akan bekerja dengan baik di sana juga.
Dalam tulisan terakhir di artikelnya, Naqvi menulis tidak ada yang tahu, Israel yang kaya minyak dan gas, kemungkinan di masa depan akan bersikap baik kepada orang-orang yang selama ini dijahati, yakni orang-orang Palestina.
Penghargaan karena telah mempengaruhi perubahan hati akan diberikan kepada negara GCC, yang sejauh ini, telah membantu melemahkan tiket Iran-Nasrallah di wilayah tersebut.