REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Rujak Center for Urban Studies, Elisa Sutanudjaja mengatakan sedang melakukan negosiasi dengan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta ihwal hak guna bangunan (HGB) Kampung Akuarium, Penjaringan, Jakarta Utara, untuk dimiliki oleh koperasi. Tujuannya supaya warga bisa mengelola sendiri kampung mereka.
"Bangunannya ini yang sedang kami negosiasi dengan DKI bahwa ini sebaiknya bisa dikelola HGB-nya oleh koperasi," ujar Elisa dalam webinar bertajuk 'Kampung Akuarium Langgar Aturan?' di Jakarta pada Senin (24/8). Adapun, hak pengelolaan (HPL) saat ini lahan Kampung Akuarium tercatat milik Pemprov DKI.
Elisa menyebut, pihaknya saat ini membuat modul manajemen Kampung Susun Akuarium serta merumuskan standar operasional prosedur (SOP) terkait pengelolaannya. Modul yang terdiri lima bagian tersebut, sambung dia, mirip dengan modul dalam manajemen di apartemen, hanya saja lebih berbasis komunitas.
"Ada lima modul isinya kepenghunian, keuangan, keselamatan, house keeping, dan engineering. Ini sama persis modulnya dengan yang di apartemen-apartemen," jelasnya.
Modul tersebut, Elisa melanjutkan, dirancang oleh pihak Kampung Akuarium, Rujak, Jakarta Property Institute, dan sebuah manajemen properti internasional. "(Modul tersebut) berbasis manajemen properti berstandar internasional," ucapnya.
Terkait dengan skema penempatan rumah susun di Kampung Akuarium, nantinya pengelolaannya berbasis masyarakat. Sementara pengelolanya tidak lain adalah koperasi yang dibentuk oleh warga. Adapun ihwal status sewa atau milik, Elisa menjelaskan, tanah dan bangunan di Kampung Akuarium akan menjadi kepemilikan bersama.
"Ini enggak bisa disederhanakan sebagai sewa atau milik, tapi ini gambaran saja. Tanahnya itu HPL Pemprov. Bangunannya yang sedang kami nego dengan Pemprov ini sebaiknya bisa dikelola oleh koperasi," terangnya.
Elisa menuturkan, nantinya bentuk kepemilikannya bersama antara pemerintah dan warga. Pasalnya menurutnya cukup sulit untuk dimiliki secara perorangan. "Jadi enggak bisa orang per orang. Ini juga mencegah finansialisasi supaya enggak dispekulasiin, dan enggak mudah dipindahtangankan."
Dia menjelaskan, upaya yang dilakukan bukanlah soal dikotomi sewa atau beli. "Yang kami usahakan di sini bukan soal dikotomi sewa atau milik. Kami ingin keluar dari dikotomi bahwa hunian ada macam-macam. Jadi hunian (adalah) sebagai produk bentuk pemenuhan hak asasi. Jangan ditanya dia beli atau sewa gitu, tapi gimana caranya dia huni secara sosial," tegas Elisa.
Upaya keluar dari dikotomi tersebut, lanjut Elisa, sedang diupayakan dan digali dari kampung-kampung lain juga, meski menurutnya sulit bagi pemerintah untuk keluar dari dikotomi bahwa tanah negara adalah tanah pemerintah. "Kalau enggak (keluar dari dikotomi), kita mewariskan konflik agraria ke generasi berikutnya," jelasnya.