REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dr Syamsul Yakin MA
Sejatinya memakai sorban adalah budaya Arab. Dalam bahasa Arab, sorban disebut dengan “‘imamah”. Nabi SAW sendiri menggunakannya di kepala. Sedangkan dalam tradisi kita, sorban seringkali berfungsi sebagai selendang. Padahal selain memakai sorban, Nabi SAW juga mengenakan selendang yang dalam bahasa Arab disebut dengan “rida”.
Sebagai tradisi Arab dan bangsa-bangsa lain di dunia, memakai sorban dan selendang tidak menambah mulia seorang hamba. Nabi SAW bersabda seperti dikutip oleh Imam Jalaluddin al-Suyuthi dalam Lubab al-Hadits, “Sorban-sorban adalah mahkota-mahkota Arab, maka apabila mereka memakainya, mereka memakai kemuliaan mereka.”
Namun, dalam konteks mengikuti sunah Nabi SAW, tentu memakai sorban termasuk dalam kategori sunah fi’liyah (sunah perbuatan Nabi SAW). Itu artinya, memakai sorban mengalami transformasi dari budaya manusia menjadi ajaran agama. Orang yang melaksanakan perintah agama pasti akan mendapat balasan berupa pahala.
Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah SWT dan para malaikat-Nya memberi penghormatan kepada para pemakai sorban pada hari Jumat.” (HR. Thabrani). Begitu juga, “Dua rakaat dengan bersorban adalah lebih baik dibandingkan tujuh puluh rakaat tanpa bersorban.” (HR. Dailami). Berdasar dua hadits ini, memakai sorban adalah sunah.
Sementara itu, memakai sorban ketika shalat juga memiliki dimensi etik. Secara fisik, shalat adalah menghadap Allah SWT Sang Maha Raja Diraja, maka sudah sepantasnya orang yang shalat berpakaian lengkap sebagai penghormatan. Apalagi secara estetik, memakai sorban membuat seorang muslim tampak lebih memesona, indah dan megah.
Terkait dengan sorban, ada satu cerita yang ditulis ulang oleh Sayyid bin Alwi al-Maliki dalam karyanya al-Busyra. Diceritakan saat meregang nyawa, Khadijah isteri tercinta Nabi SAW berbisik kepada puteri tercintanya, Fatimah. Khadijah yang merasa takut akan siksa kubur menyuruh Fatimah memintakan sorban Nabi SAW untuk kain kafannya.
Seperti diketahui, setiap kali menerima wahyu dari Allah SWT, Nabi SAW senantiasa memakai sorban. Sorban itulah yang diminta Khadijah. Dengan penuh haru Nabi SAW berkata, “Wahai Khadijah, Allah berkirim salam kepadamu dan Dia telah persiapkan tempatmu di surga”. Diceritakan, setelah itu Jibril turun membawa lima kain kafan.
Terkait dengan selendang Nabi SAW, Syaikh Hamami Zadah dalam karyanya Tafsir Surah Yasin menulis cerita menarik. Satu hari Nabi SAW pulang ke rumah isteri beliau, Aisyah. Aisyah menyambut beliau sambil memegang sorban Nabi SAW seraya berkata, “Alangkah mengherankan, basah sorban dan pakaian engkau karena hujan?”
Padahal pada hari itu, lanjut Syaikh Hamami Zadah, diketahui tidak ada hujan yang turun. Maka Nabi SAW paham bahwa Aisyah telah mampu melihat hujan yang terjadi di alam gaib. Lalu Nabi SAW bertanya, “Pada hari ini dengan apa kamu menutup kepalamu?” Aisyah menjawab, “Aku menutupi kepalaku dengan selendang milikimu.”
Sejurus Nabi SAW lalu menjelaskan soal selendang itu kepada Aisyah, “Wahai Aisyah, selendang itu sungguh telah mengangkat tabir matamu sehingga kamu bisa melihat hujan di alam gaib. Wahai Aisyah, di alam gaib terdapat hujan, mendung, matahari dan bulan, tidak ada yang bisa melihat semua itu kecuali para wali dan orang-orang saleh”.
Semoga sorban dan selendang yang kita gunakan untuk beribadah kepada Allah SWT “bertuah” secara teologis dan sosiologis. Secara teologis, insya Allah kita akan beroleh pahala yang akan kita nikmati di akhirat. Secara sosiologis, diharapkan dapat memengaruhi masyarakat untuk menjalankan sunah Rasullah SAW yang berdimensi etik dan estetik.