REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Hubungan antara Cina dan Iran telah menjadi sorotan. Kedua negara membuat kesepakatan investasi jangka panjang yakni selama 25 tahun melalui inisiasi One Belt One Road oleh China.
Beijing melakukan investasi besar-besaran di sejumlah sektor utama ekonomi Iran, dengan imbalan pasokan bahan bakar yang terjamin selama 25 tahun ke depan.
Seperti dilansir Middle East Monitor, Selasa (25/8), China akan berinvestasi sebesar 120 miliar dolar AS untuk mengembangkan jaringan transportasi Iran, dengan membangun jalan yang menghubungkan Teheran ke Urumqi di Provinsi Xinjiang.
Rute jalan tersebut juga akan menghubungkan Urumqi-Gwadar. Setelah ruas jalan itu selesai dibangun, China memiliki ambisi untuk menghubungkan dengan Kazakhstan, Kyrgyzstan, Uzbekistan dan Turkmenistan, dan selanjutnya melalui Turki ke Eropa.
Beijing juga berencana mengerahkan lebih dari 5.000 personel keamanan untuk melindungi investasinya di Iran. Menurut data SIPRI, China adalah salah satu dari tiga negara pemasok senjata ke Iran. Antara 2008 dan 2018, Beijing mengekspor senjata senilai 270 juta dolar AS ke Teheran. Selain itu, Desember lalu China, Rusia, dan Iran menggelar latihan angkatan laut trilateral pertama.
Penasihat ekonomi Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei, Ali Agha Mohammadi mengatakan, Teheran perlu meningkatkan produksi minyak setidaknya sebesar 8,5 juta barel per hari agar tetap menjadi pemain di sektor energi. Oleh karena itu, kemitraan dengan China dinilai sangat penting untuk meningkatkan sektor energi.
Industri minyak Iran bergantung pada China sebagai mitra dagang, meskipun ada sanksi yang diterapkan oleh AS dan PBB pada 2010. China juga telah menjadi investor utama dalam industri minyak dan gas Iran. Pada 2012, China mengimpor 54 persen dari produksi minyak Iran melalui struktur keuangan alternatif, termasuk barter.
China adalah importir minyak terbesar di dunia, dan Iran ingin kliennya siap untuk melawan sanksi AS. Selain itu, Iran membutuhkan teknologi modern di berbagai bidang seperti jaringan kereta api dan 5G. Teheran semakin merapat ke Beijing untuk mendapatkan dukungan dalam konflik berkepanjangan dengan AS.
Hubungan antara Beijing dan Teheran berawal dari kebijakan Pivot to the East oleh Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad. Kebijakan itu telah berkembang di bawah Presiden Cina, Xi Jinping. Hubungan kedua negara semakin berkembang selama empat dekade dan terbagi dalam tiga fase.
Pertama yaitu, kerja sama militer selama Perang Iran-Irak. Kedua, kerja sama energi pada 1990an seiring dengan berkembangnya ekonomi China dengan cepat. Ketiga, kesepakatan minyak yang menentang sanksi internasional.
Kebijakan dan sanksi yang dijatukan kepada Iran oleh pemerintahan Presiden AS, Donald Trump telah gagal. Sanksi tersebut bertujuan agar Iran terisolasi dari dunia luar dan menekan perekonomian negara itu. Namun, tujuan AS tampaknya tidak tercapai karena Teheran semakin merapat ke Beijing.
Kesepakatan China-Iran menghadirkan ancaman yang mematikan untuk melawan pemerintahan Trump. Investasi China di Iran memungkinkan Beijing untuk menggunakan kekuatannya untuk mempengaruhi kebijakan luar negeri Teheran.
Selain itu China dapat mendiversifikasi kebutuhan energinya tanpa harus selalu bergantung pada Rusia. China juga meningkatkan klaim untuk menawarkan alternatif dari "konsensus Washington" dengan menentang sanksi AS terhadap Iran, dan terus melakukan perdagangan dengan Teheran.