Rabu 26 Aug 2020 09:41 WIB

Catatan ICW Terkait Sidang Etik Ketua KPK Firli Bahuri

ICW menilai sidang etik terhadap Ketua KPK Firli Bahuri adalah ujian besar bagi Dewas

Rep: Dian Fath Risalah / Red: Bayu Hermawan
Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana jelaskan
Foto: Republika TV/Havid Al Vizki
Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana jelaskan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) memandang sidang dugaan pelanggaran etik Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri merupakan ujian besar bagi Dewan Pengawas KPK. Sebab, selama ini publik menilai  kinerja Dewas KPK terlalu lambat merespon beberapa peristiwa dan kebijakan kontroversi yang dilakukan oleh Ketua KPK, ataupun Pimpinan KPK lainnya yang menyetujui keputusan Ketua KPK. 

"Kami (ICW) dapat mencatatnya beberapa hal, misalnya pengembalian paksa Kompol Rossa Purbo Bekti yang tidak prosedural, kaburnya Harun Masiku, hingga kasus yang saat ini tengah diperiksa Dewas terkait dengan penggunaan helikopter, " ujar Peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam pesan singkatnya, Rabu (26/8). 

Baca Juga

Sehingga, apa yang sedang ditangani oleh Dewas KPK terkait dengan indikasi pelanggaran kode etik Ketua KPK perlu dilihat dalam kronik waktu yang lebih luas. Termasuk dengan melihat rekam jejak yang bersangkutan selama menjadi pegawai di KPK.  Sebab Firli Bahuri, setidaknya selama bekerja di KPK, beberapa kali pernah dilaporkan melakukan pelanggaran kode etik. Saat menjabat sebagai Deputi Penindakan KPK, ICW melaporkan indikasi pelanggaran kode etik dimana dirinya melakukan pertemuan dengan seorang kepala daerah yang sedang berperkara di KPK. 

"Putusan saat itu, Firli Bahuri dianggap terbukti melakukan pelanggaran berat berdasarkan musyawarah Dewan Pertimbangan Pegawai KPK, " kata Kurnia.

Tidak hanya itu, ketika masih menjabat sebagai Deputi Penindakan KPK, muncul petisi dari ratusan pegawai KPK kepada Pimpinan KPK yang mengeluhkan adanya permasalahan serius dalam internal kedeputian penindakan. Mulai dari keluhan karena adanya hambatan menangani perkara besar sampai pada memberikan perlakuan khusus kepada saksi tertentu yang sedang diperiksa KPK. 

ICW, lanjut Kurnia, juga mendesak agar Dewas KPK terus mencari dan menggali kebenaran materiil penggunaan helikopter jenis helimousine oleh Ketua KPK, Firli Bahuri. Kuat dugaan bahwa perusahaan pemilik helikopter itu memiliki keterkaitan kasus dugaan korupsi yang tengah ditangani KPK. 

"Penggunaan fasilitas tersebut diduga merupakan bentuk pelanggaran kode etik sebagaimana diatur dalam Peraturan Dewan Pengawas Nomor 2 Tahun 2020," tegas Kurnia. 

Kurnia mengungkapkan, ICW setidaknya memiliki tiga catatan atas pemeriksaan indikasi pelanggaran kode etik diatas. Pertama, proses pemeriksaan harus menjunjung tinggi transparansi serta akuntabilitas kepada masyarakat. 

Hal ini penting untuk ditegaskan, sebab, Pasal 5 UU KPK telah menjelaskan bahwa dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, KPK berasaskan pada nilai keterbukaan, akuntabilitas, dan kepentingan umum. Terlebih lagi, Pasal 3 ayat (1) Peraturan Dewan Pengawas Nomor 3 Tahun 2020 menyebutkan bahwa Dewas KPK dalam melaksanakan pemeriksaan dan persidangan, berasaskan nilai akuntabilitas dan kepentingan umum. 

"Ihwal pertanggungjawaban kepada publik juga ditegaskan dalam Pasal 20 ayat (1) UU KPK. Oleh karena itu, Dewas dilarang menutup diri atas proses dan hasil pemeriksaan terhadap Firli Bahuri, " tegas Kurnia. 

Kedua, model pembuktian yang dilakukan oleh Dewas KPK diharapkan tidak hanya mengandalkan pada pengakuan dari terperiksa saja. Dalam konteks ini, materi pemeriksaan sudah barang tentu akan menyoal penggunaan moda transportasi mewah yang digunakan oleh Ketua KPK. 

Untuk itu, sambung Kurnia, Dewas  KPK mesti terus menggali, jika pengakuan terperiksa menyebutkan bahwa penggunaan transportasi itu berasal dari uang pribadi atau gaji. Sehingga, pertanyaan lebih lanjutnya adalah, metode pembayaran apa yang digunakan.

"Apa melalui pembayaran tunai atau menggunakan jasa perbankan? Lalu perihal bukti, semestinya terperiksa harus bisa memperlihatkan bukti pembayaran otentik kepada majelis pemeriksa. Tujuannya agar Dewas bisa mendapatkan kebenaran material atas proses pemeriksaan ini, " tutur Kurnia. 

Ketiga, Dewas KPK perlu melibatkan Kedeputian Penindakan dalam memeriksa dugaan pelanggaran kode etik Ketua KPK. Hal ini penting, setidaknya untuk melihat lebih jauh, apakah ada potensi penerimaan gratifikasi dari pihak tertentu.

Ketika nantinya ditemukan bukti permulaan yang cukup akan penerimaan gratifikasi dalam bentuk transportasi mewah, maka pemeriksaan etik tersebut dapat dilanjutkan dengan tindakan penyelidikan, bahkan penyidikan. ICW menilai, Pasal 12 B UU Tipikor dapat digunakan sebagai dasar untuk memproses setiap penyelenggara negara yang menerima gratifikasi dari pihak tertentu, yang mana ancaman hukumannya mencapai 20 tahun penjara. 

Dewas KPK akan kembali memeriksa  Ketua KPK Firli Bahuri pada Senin (31/8) pekan depan. Diketahui, pada Selasa (25/8) Dewas KPK menggelar sidang dugaan pelanggaran etik yang dilakukan Firli Bahuri. 

"Sidang etik untuk pak FB (Firli Bahuri) masih akan dilanjutkan Senin 31 Agustus minggu depan. Pak FB sebagai terperiksa akan hadir lagi dalam sidang," kata Anggota Dewas KPK Syamsuddin Haris dalam pesan singkatnya, Selasa (25/8).

Haris mengungkapkan alasan masih dilakukannya sidang dugaan pelanggaran etik lantaran karena saksi-saksi yang dipanggil Dewas KPK urung hadir semua. Dari enam orang saksi yang dipanggil, baru dua orang yang memberi kesaksian.  Dua saksi yang telah diperiksa Dewas KPK hari ini ialah Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman dan organ Dewas KPK. 

 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement