REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di antara kesitimewaan Islam adalah bahwa ia datang untuk menghilangkan kesempitan dan kesusahan dari manusia. Islam tidak membebani seseorang untuk bertanya tentang kesucian atau kenajisan suatu benda apabila dia tidak mengetahuinya.
Hal itu berdasarkan prinsip bahwa pada dasarnya segala sesuatu itu suci. Dalam kitab Panduan Shalat An-Nisaa karya Abdul Qadir Muhammad Manshur yang diterjemahkan dan diterbitkan Republika Penerbit disebutkan, apabila seseorang terkena benda yang lembab pada malam hari tanpa mengetahui hakikatnya, maka ia tidak dibebani untuk mencium atau mengenali benda tersebut.
Diriwayatkan bahwa Umar melewati sebuah jalan pada suatu hari. Tiba-tiba ia kejatuhan sesuatu dari talang rumah. Ketika itu Umar ditemani seorang rekannya lalu ia berkata: "Wahai pemilik talang, airmu itu suci atau najis? Sungguh, kami telah dilarang untuk menyusahkan diri,". Lalu, Umar pun berlalu.
Selanjutnya, apabila seseorang terkena debu jalanan maka dia tetap suci dan tidak perlu menyusahkan dirinya. Dia telah dimaafkan karena hal ini menimpa semua orang. Kumail bin Ziyad berkata: "Aku meihat Ali bin Abi Thalib berlumuran lumpur hujan, lalu dia masuk ke dalam masjid dan mengerjakan shalat tanpa mencuci kedua kakinya,".
Dalam Majmu Az-Zawaid, Abdullah bin Mas'ud berkata: "Kami dulu mengerjakan shalat bersama Nabi SAW dan tidak berwudhu karena kotoran yang kami injak,". Dalam hadis lainnya, Abu Umamah berkata: "Rasulullah tidak berwudhu karena kotoran yang beliau injak,". Hadis ini berkadar dhaif dan iriwayatkan Thabrani.
Artinya, dijelaskan dalam kitab ini, beliau tidak mengulangi wudhu karena kaki beliau terkena kotoran. Dengan demikian, yang dimaksud di sini adalah wudhu yang dikenal dalam syariat. Tetapi ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud adalah wudhu secara etimologis sehingga maknanya: beliau tidak membasuk kaki beliau karena terkena debu jalanan dan sejenisnya.