REPUBLIKA.CO.ID, WELLINGTON -- Terdakwa kasus penembakan dua masjid di Christchurch, Selandia Baru, Brenton Tarrant, enggan melakukan pembelaan dalam persidangan yang digelar pada Rabu (26/8). Selain para kerabat korban, hakim turut memberi kesempatan kepada Tarrant untuk berbicara.
Tarrant diperkenankan menggunakan haknya berbicara dan melakukan pembelaan atas perbuatannya di persidangan. Namun saat hakim Cameron Mander bertanya apakah dia ingin menggunakan hak tersebut? Dia menolak. Hakim dijadwalkan menjatuhkan vonis pada Kamis (27/8).
Tarrant terancam hukuman penjara seumur hidup tanpa kemungkinan memperoleh pembebasan bersyarat. Dia akan menjadi orang pertama di Selandia Baru yang dijatuhi hukuman demikian.
Seorang pengacara yang ditunjuk pengadilan akan membuat pernyataan singkat atas nama Tarrant sebelum Mander menjatuhkan hukumannya. Selama tiga hari terakhir, persidangan telah mendengar pernyataan sekitar 90 kerabat dari para korban penembakan masjid di Christchurch. Mereka meluapkan kemarahan dan kesedihannya. Beberapa di antara mereka menyebut Tarrant pecundang dan pengecut. Sementara yang lainnya secara lantang memanggil Tarrant teroris.
Abdul Aziz adalah salah satu penyintas yang turut berbicara di pengadilan. Dia telah dianggap sebagai pahlawan karena sempat mengejar Tarrant dari masjid Linwood. "Saya melihat ketakutan di matanya saat dia lari menyelamatkan nyawanya," kata Aziz sambil saling berbalasan tatapan dengan Tarrant di persidangan.
Ketika Tarrant melepaskan tembakan melalui jendela di masjid, Aziz yang berusia 49 tahun mengambil mesin pembayaran kartu kredit dan berlari keluar. Dia kemudian menimpuk Tarrant dengan mesin tersebut. "Dia mulai menembaki saya langsung dari jarak tiga atau empat meter. Saya merunduk di antara mobil," katanya.
Aziz kemudian berlari ke tempat parkir belakang. Dia sempat berteriak "Kemarilah, Anda mencari saya?" kepada Tarrant. Aziz enggan masuk ke dalam masjid. Sebab ia tahu hal itu akan membuatnya kehilangan nyawanya.
Setelah melakukan penembakan, Tarrant berlari ke mobilnya. Hal itu memberi kesempatan kepada Aziz untuk memungut senjata yang telah dibuang dan melemparkannya ke mobil milik Tarrant.
"Ketika jendela sampingnya pecah, saya bisa melihat di matanya dia takut akan nyawanya sendiri. Anda harus berterima kasih kepada Tuhan pada hari itu saya tidak menangkap Anda. Anda tidak akan pernah melupakan kedua mata yang Anda tinggalkan ini," kata Aziz.
Aden Diriye turut memberi pernyataan di persidangan. Dia adalah ayah dari Mucaad Ibrahim, bocah berusia tiga tahun yang tewas oleh peluru Tarrant. Diriye tak dapat menampik bahwa peristiwa penembakan itu merupakan sebuah kejahatan brutal.
"Keadilan sejati menunggu Anda di kehidupan selanjutnya dan itu akan jauh lebih parah (daripada penjara). Saya tidak akan pernah memaafkan Anda atas apa yang telah Anda lakukan. Anda telah membunuh anak saya dan bagi saya itu seolah-olah Anda telah membunuh seluruh Selandia Baru," kata Diriye.
Pada kesempatan itu, Diriye sempat mengenang bagaimana anaknya selalu bermain di masjid dan berteman dengan setiap jamaah, baik tua maupun muda. "Kekejaman dan kebencian Anda ternyata tidak seperti yang Anda harapkan. Sebaliknya, itu telah menyatukan komunitas Christchurch kami, memperkuat iman kami, mengangkat kehormatan keluarga kami dan menyatukan bangsa kami yang damai," ujarnya.
Hasmine Mohamedhosen, saudara dari korban tewas bernama Mohamed, menyebut Tarrant sebagai "anak iblis". Dia mengutuk Tarrant atas perbuatannya dan mengharapkannya membusuk di neraka kelak.
Hal itu serupa disampaikan Ahad Nabi, anak dari Haji Daoud Nabi yang tewas tertembak di Masjid Al Noor. "Saat Anda di penjara, Anda akan menyadari bahwa Anda sekarang berada di neraka dan hanya api yang menanti Anda," ujar Nabi.
Di antara para kerabat dan keluarga korban, ada pula yang menyampaikan pesan belas kasih. Salah satunya adalah John Milne. Putra Milne, yakni Sayyad (14 tahun) tewas akibat penembakan brutal yang dilakukan Tarrant. Dia tak menyangkal, kematian putranya membuat mentalnya terganggu dan menderita.
"Ada lubang besar di hati saya yang hanya akan sembuh ketika saya bertemu Sayyad lagi di surga. Saya berharap bisa melihat Anda di sana juga, Brenton, dan jika Anda mendapat kesempatan, saya ingin Anda meminta maaf kepada Sayyad. Saya yakin dia juga memaafkan Anda," kata Milne.
Penembakan brutal terhadap dua masjid di Christchurch terjadi pada 15 Maret 2019. Peristiwa itu menyebabkan 51 orang tewas.