REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kejaksaan Agung (Kejakgung) memberikan tempat bagi Bareskrim Polri untuk memeriksa jaksa Pinangki Sirna Malasari di Kejakgung. Namun, pemberian tempat pemeriksaan di ‘kandang’ jaksa itu, bukan bermaksud memberikan hak istimewa terhadap Pinangki, yang statusnya masih sebagai anggota Korps Adhyaksa.
Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus) Kejakgung Ali Mukartono menegaskan, pemberian tempat pemeriksaan tersebut, hanya untuk memudahkan mobilitas terperiksa, maupun tim penyidik kepolisian. Terutama terkait dengan protokol kesehatan.
“Karena (pemeriksaan Pinangki) dibutuhkan oleh penyidikan di Mabes Polri, dari pada nanti harus pakai rapid test, atau macam-macam, kita sediakan tempat di sini,” ujarnya saat dicegat di Gedung Pidsus, Kejakgung, Jakarta, Rabu (26/8) malam.
Ali mengatakan, teknis pemeriksaan Pinangki nantinya, ada di tangan tim di kepolisian. Karena, dalam penyidikan di Bareskrim, status Pinangki baru sebatas saksi.
Sementara di JAM Pidsus, status hukum Pinangki, sudah tersangka yang sejak Selasa (10/8), dalam penahanan di Rutan Kejakgung. Melihat posisi hukum, dan keberadaan Pinangki tersebut, Ali mengatakan, Kejakgung menyerahkan sepenuhnya materi pemeriksaan Pinangki, sesuai kebutuhan kepolisian. “Kami (Kejakgung) tidak tahu kepentingannya Mabes Polri memeriksa P. Mereka (Polri) lah yang tahu materinya di sana,” terang Ali.
Termasuk kata Ali, terkait tempat pemeriksaan yang dibutuhkan kepolisian. “Kita sediakan tempat, di sini (Gedung JAM Pidsus, Red), atau di rutan sana (Rutan Kejakgung) sana. Enggak tahu, nanti terserah teman-teman dari kepolisian,” terang Ali.
Ali menambahkan, pola serupa pun juga dilakukan jika JAM Pidsus, membutuhkan pemeriksaan saksi-saksi yang kini dalam penahanan di sel Bareskrim Polri. “Kita kan juga memeriksa beberapa orang di Bareskrim juga. Jadi ini, kordinasi saja,” kata Ali.
Pemeriksaan jaksa Pinangki oleh Bareskrim Polri, terkait dengan penyidikan skandal hukum terpidana korupsi Djoko Sugiarto Tjandra di Bareskrim Polri. Penyidikan di Mabes Polri, sudah menetapkan enam orang tersangka. Di antaranya, termasuk Djoko Tjandra, dan dua perwira tinggi kepolisian, yakni tersangka Irjen Napolen Bonaparte, dan Brigjen Prasetijo Utomo.
Dua perwira tinggi itu, ditetapkan tersangka karena diduga menerima uang senilai 20 ribu dolar AS (Rp 296 juta) dari Djoko Tjandra terkait pencabutan red notice di interpol, dan pembuatan surat, serta dokumen palsu untuk terpidana korupsi Bank Bali 1999 itu. Tersangka lainnya di Bareskrim Polri, yakni pengacara Anita Kolopaking, dan Tommy Sumardi.