REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Luar Negeri (Menlu) RI Retno Marsudi menekankan bahwa tidak ada konsensus mengenai permintaan mekanisme snapback yang dilayangkan Amerika Serikat (AS) untuk sanksi embargo senjata terhadap Iran. Indonesia selaku presiden Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bansga (DK PBB) memiliki kewajiban untuk menjawab pertanyaan yang diajukan oleh setiap anggota DK.
"Menjawab pertanyaan tersebut Indonesia selaku presiden DK menyampaikan hasil konsultasinya yang menunjukkan bahwa tidak ada konsensus mengenai permintaan snapback mechanism," ujar Menlu Retno dalam pengarahan media yang dilakukan secara virtual, Kamis (27/8).
Menlu Retno menegaskan bahwa selama menjalankan tugas sebagai presiden DK PBB, Indonesia selalu menjunjung tinggi prinsip inklusivitas, transparansi, dan imparsialitas. Pekan lalu, Menlu AS Mike Pompeo telah menyampaikan surat resmi kepada Presiden DK PBB untuk memulai proses snapback mechanism.
Setelah menerima surat Menlu AS tersebut, Indonesia selaku presiden DK PBB bulan Agustus juga menerima surat terpisah dari 13 negara anggota DK PBB lainnya termasuk Indonesia. "Yang intinya, surat dari mayoritas anggota DK PBB tersebut tidak sejalan dengan pandangan AS," tegas Menlu Retno.
Menurut Retno, Indonesia sebagai presiden DK PBB, telah menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan dan prosedur yang berlaku di DK PBB. Indonesia, kata Retno juga telah melakukan konsultasi bilateral secara inklusif dengan semua anggota DK PBB untuk meminta pandangan masing-masing anggota tentang langkah yang dapat dilakukan oleh presiden DK PBB.
"Sekali lagi saya tekankan dalam konsultasi tersebut menunjukkan bahwa tidak ada konsensus mengenai permintaan snapback mechanism," tegas Menlu Retno.
AS terisolasi atas upayanya untuk memberlakukan kembali sanksi internasional terhadap Iran. Sebanyak 13 negara dari 15 anggota di DK PBB menyatakan penentangan mereka. Alasannya bahwa langkah Washington tidak berlaku karena menggunakan proses yang disepakati di bawah kesepakatan nuklir Iran (JCPOA) yang dihentikan dua tahun lalu.
AS menuduh Iran melanggar kesepakatan 2015 dengan kekuatan dunia yang bertujuan untuk menghentikan Teheran mengembangkan senjata nuklir dengan imbalan keringanan sanksi. Namun demikian, Presiden Donald Trump menilai itu sebagai kesepakatan terburuk yang pernah ada dan memutuskan untuk keluar pada 2018.
Duta Besar AS untuk PBB Kelly Craft menyatakan, AS tidak akan pernah mengizinkan negara sponsor terorisme terbesar di dunia dengan bebas membeli dan menjual pesawat, tank, rudal, dan senjata konvensional lainnya. Termasuk juga kepemilikan senjata nuklir.
Dia pun menuding DK PBB yang saat ini dipimpin Dubes Indonesia untuk PBB, Dian Triansyah Djani, kurang memiliki keberanian dan kejelasan moral. "Iran mengobarkan konflik dan pembunuhan di seluruh dunia karena memasok senjata ke milisi proksi dan kelompok teroris," kata dia sebagaimana dilansir di The National, Rabu (26/8).
Menurut Craft, kondisi ini tentu membuat Rusia dan China berada di atas angin karena merasa senang atas disfungsi dan kegagalan DK PBB mengambil keputusan. Dia mengatakan kini Iran merayakan pengaruh barunya atas negara-negara bebas di dunia. Sedangkan Hizbullah, rezim Houthi dan Nicolas Maduro di Venezuela tentu juga menyambut pengaruh baru Iran.