REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Narapidana Djoko Sugiarto Tjandra kembali ditetapkan sebagai tersangka. Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) menetapkan status hukum baru terhadap terpidana korupsi hak tagih utang Bank Bali 1999 tersebut dalam dugaan upaya pengurusan fatwa bebas di Mahkamah Agung (MA).
Penyidik menjerat Djoko Tjandra dengan Pasal 5 ayat (1) a, atau b, atau Pasal 13 UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) 31/1999 dan 20/2001. “Setelah selesai dilakukan gelar perkara hari ini (27/8), penyidik pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus menetapkan lagi satu orang tersangka, dengan inisial JST (Djoko Sugiarto Tjandra,” terang Kapuspenkum Kejagung Hari Setiyono dalam keterangan resmi kepada wartawan di Gedung Pidsus, Kejagung, Jakarta, Kamis (27/8).
Hari menerangkan, penetapan Djoko Tjandra sebagai tersangka satu paket dengan peningkatan status hukum yang sebelumnya dilakukan terhadap jaksa Pinangki Sirna Malasari. Hari menerangkan, kedua tersangka saling terikat dalam perbuatan korupsi, dan permufakatan jahat, yaitu upaya Pinangki dalam dugaan penerbitan fatwa bebas dari MA, atas status terpidana Djoko Tjandra.
Penyidik pada Jampidsus menetapkan jaksa Pinangki sebagai tersangka pada Selasa (11/8). Pinangki dijerat dengan Pasal 5 ayat (2), atau Pasal 11, dan Pasal 12 a atau b, serta Pasal 15 UU Tipikor.
Dalam kasus ini, Pinangki menjadi tersangka penerima imbalan, dan janji senilai 500 ribu dolar AS, atau sekira Rp 7,5 miliar. Djoko Tjandra menjadi tersangka yang memberikan janji atau imbalan.
Hari mengatakan penyidik menduga upaya Pinangki mendapatkan fatwa bebas dari MA untuk Djoko Tjandra terjadi pada rentang November 2019 sampai Januari 2020. “Apakah yang diinginkan dari fatwa MA itu? Kira-kira, bahwa tersangka JST ini, statusnya adalah terpidana, bagaimana caranya agar tidak diekeskusi oleh eksekutor yang dalam hal ini, adalah jaksa,” kata Hari.
Sebelum ditetapkan sebagai tersangka di Jampidsus, Djoko Tjandra, pada Jumat (14/8), juga ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap senilai 20 ribu dolar AS (Rp 296 juta) kepada dua jenderal di Mabes Polri, yakni Irjen Napolen Bonaparte dan Brigjen Prasetijo Utomo terkait pencabutan red notice di interpol.