REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pelaku penembakan di masjid Christchurch, Brenton Harrison Tarrant, telah divonis penjara seumur hidup tanpa pembebasan bersyarat. Vonis tersebut dijatuhkan di pengadilan di Christchurch, Selandia Baru, Kamis (27/8).
Sesi pertama sidang yang dimulai pada Senin (24/8) waktu setempat itu memberikan kesempatan bagi para penyintas dan keluarga korban untuk berhadapan langsung dengan Tarrant. Secara bergiliran, mereka memberikan kesaksian dan curahan hati yang ditujukan kepada Tarrant.
Sidang berlangsung dengan tenang dan ruang sidang utama relatif kosong. Seorang penasihat komunitas yang juga mantan anggota dewan kota Christchurch, Raf Manji, mengatakan keheningan di pengadilan kasus teroris masjid Christchurch itu akan bermanfaat bagi komunitas.
Menurutnya, kesaksian para penyintas dan kerabat korban penembakan itu telah memberi pesan kuat bahwa sang pelaku telah gagal. Tarrant dijatuhi hukuman atas 51 dakwaan pembunuhan, 40 percobaan pembunuhan dan satu dakwaan terorisme.
Pengadilan diperkirakan memperdengarkan 66 kesaksian selama tiga hari terakhir sidang. Namun, nyatanya ada lebih dari 90 pernyataan kesaksian.
Manji lantas menyampaikan beberapa pernyataan dampak atas nama para korban. Ia mengatakan, sidang tiga hari terakhir ini berlangsung begitu emosional. Menurutnya, butuh keberanian luar biasa bagi orang-orang untuk datang ke ruang sidang.
"Hakim telah luar biasa dalam kelonggaran yang dia berikan kepada orang-orang untuk menyampaikan suara mereka dan membuat pengadilan menjadi tempat yang aman bagi komunitas," kata Manji, dilansir di Radio New Zealand, Kamis (27/8).
Ia menyebut, ada banyak kekhawatiran tentang seperti apa sidang akan berlangsung dan apakah sang pelaku penyerangan masjid itu akan menggunakannya sebagai sebuah platform, sebelum vonis akhirnya dijatuhkan. Namun, tidak ada satu pun dari hal-hal yang dikhawatirkan orang-orang itu terjadi. Karena itulah, menurutnya, mereka melihat banyaknya orang-orang yang ingin memberikan pernyataan dampak dalam sidang kemarin.
"Karena mereka melihat teman dan saudara mereka memberikan pernyataan mereka dan itu bagus, dan mereka dapat melihat bahkan jika orang marah, rasa sakit yang mereka bawa selama 18 bulan bisa pergi dari tubuh melalui kata-kata yang mereka ungkapkan. Pada akhirnya ini menjadi proses penyembuhan yang nyata bagi banyak orang," katanya.
Terlepas dari keraguan awal tentang tampil di pengadilan, saat persidangan berlangsung, orang-orang dapat memberi tahu sang pelaku penyerangan dengan tepat bagaimana perasaan mereka dan apa yang harus dia bawa selama sisa hidupnya. Selama persidangan, Manji mengatakan bahwa terpidana pria asal Australia itu sebagian besar tanpa ekspresi. Tidak mengherankan, jika Tarrant memutuskan untuk tidak berbicara. Menurutnya, keputusan Tarrant untuk diam selama persidangan itu akan membantu komunitas.
"Ada pesan yang sangat kuat bahwa dia telah gagal dalam apa yang dia coba lakukan dan pada akhirnya tindakannya tidak ada gunanya, dan mereka benar-benar telah menyatukan komunitas dan menyatukan orang-orang di Selandia Baru dan telah terjadi penolakan total atas apa yang dia coba lakukan," lanjutnya.
Sementara itu, Manji menambahkan sudah jelas bahwa orang-orang menginginkan hukuman seberat-beratnya bagi Tarrant. Hukuman itu yakni penjara seumur hidup tanpa pembebasan bersyarat. Walaupun, mereka sadar bahwa hukuman demikian belum pernah diberikan di Selandia Baru sebelumnya.
"Tetapi mereka pikir itu adalah hukuman yang tepat mengingat kejamnya perbuatan orang ini," tambahnya.