REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menurut ulama Hanafiyah, jika keraguan itu merupakan yang pertama dalam hidupnya, ia harus mengulangi shalat itu dari permulaan. Konon, manusia tempatnya salah dan lupa. Maka tak heran, jika saat shalat pun, kita terkadang lupa atau ragu tentang jumlah rakaat yang telah dikerjakan. Apa yang harus kita lakukan jika terjadi hal seperti ini?
Para ulama Syafi'iyah, Malikiyah, dan Hambaliyah menyatakan, jika seorang Muslim ragu-ragu tentang jumlah rakaat shalat yang telah dikerjakan, hendaklah berpegang atas dasar yang lebih meyakinkan, yaitu yang jumlahnya paling sedikit, kemudian menyempurnakan shalat dengan sisa rakaat yang belum dikerjakan.
Sedangkan, para ulama Hanafiyah memfatwakan, jika keraguannya dalam shalat itu merupakan yang pertama kali dalam hidupnya, ia harus mengulangi shalat itu dari permulaan. Dan, jika sebelumnya ia pernah ragu-ragu dalam shalatnya, hendaklah direnungkannya sejenak, kemudian melakukan menurut persangkaannya yang lebih kuat. Jika masih tetap ragu-ragu, ia harus menetapkan atas jumlah yang lebih sedikit karena yang demikian lebih meyakinkan.
Menurut kalangan Imamiyah, jika keragu-raguan itu timbul pada shalat-shalat yang jumlahnya dua rakaat, seperti shalat Subuh, shalat musafir, shalat Jumat, shalat Id (hari raya), shalat gerhana, atau pada shalat Maghrib, atau pada dua rakaat pertama pada shalat-shalat yang jumlahnya empat rakaat, yaitu Isya', Dzuhur, dan Ashar, shalatnya menjadi batal dan harus diulangi dari permulaan. Namun, jika keragu-raguan itu timbul pada dua rakaat terakhir pada shalat ruba'iyah (yang jumlahnya empat rakaat), hendaklah dikerjakan shalat ihtiyath setelah menyelesaikan shalat dan sebelum melakukan hal-hal lain.
Contoh, seseorang ketika shalat ragu-ragu antara dua rakaat dan tiga rakaat. Sesudah menyelesaikan dua sujud, ia harus menetapkan atas jumlah yang lebih banyak dan menyempurnakan shalat, kemudian shalat ihtiyath dua rakaat sambil duduk atau satu rakaat sambil berdiri. Jika ia ragu-ragu antara tiga rakaat atau empat rakaat, ia harus menetapkan empat rakaat, kemudian ia sempurnakan shalatnya, lalu mengerjakan shalat ihtiyath satu rakaat sambil berdiri atau dua rakaat sambil duduk.
Jika ia ragu-ragu antara dua rakaat dan empat rakaat, hendaklah ditetapkannya empat rakaat, kemudian ia kerjakan shalat ihtiyath dua rakaat sambil berdiri. Dan, jika ragu-ragu antara dua rakaat, tiga rakaat, dan empat rakaat, hendaklah ditetapkannya empat rakaat, kemudian ia kerjakan shalat ihtiyath dua rakaat sambil berdiri dan dua rakaat sambil duduk.
Hal itu, menurut mazhab Imamiyah, adalah untuk menjaga hakikat shalat dan menghindarkan penambahan dan pengurangan dalam shalat. Jelasnya adalah seperti yang disebutkan dalam contoh berikut: orang yang ragu-ragu antara tiga rakaat dan empat rakaat, lalu ia menetapkannya empat rakaat, setelah itu (seusai shalat) ia mengerjakan satu rakaat secara terpisah. Seandainya shalat yang sudah dikerjakannya itu sempurna, satu rakaat terpisah yang ia kerjakan tadi dianggap sebagai nafilah (shalat sunah). Dan, jika memang shalatnya kurang satu rakaat, rakaat terpisah tadi adalah sebagai pelengkapnya. "Bagaimanapun, shalat ihtiyath dengan cara demikian hanya terdapat dalam mazhab Imamiyah,'' kata Muhammad Jawad Mughniyah dalam buku Fiqih Lima Mazhab.