REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Prancis mendesak Lebanon untuk melakukan reformasi secara serius setelah ledakan yang terjadi di pelabuhan Beirut pada 4 Agustus lalu. Prancis memperingatkan Lebanon berisiko "menghilang" sebagai negara jika gagal melakukan reformasi pemerintah.
Prancis ingin Lebanon membentuk pemerintahan baru dengan cepat. Pemerintahan baru diharapkan mampu menangani krisis dan melakukan reformasi keuangan termasuk audit bank sentral.
"Risiko hari ini adalah hilangnya Lebanon, sehingga tindakan ini (reformasi) harus diambil. Mereka terjebak dalam konsensus yang tidak aktif dan itu tidak bisa dilanjutkan," ujar Menteri Luar Negeri Prancis Jean-Yves Le Drian kepada radio RTL.
Presiden Prancis Emmanuel Macron akan mengunjungi Lebanon pekan depan untuk menyampaikan pesan perlunya perubahan dalam pemerintahan di negara tersebut. Sebuah dokumen kerja telah diserahkan oleh Prancis ke Lebanon sebelum kunjungan Macron. Dokumen itu menguraikan masalah yang akan dibahas dalam kunjungan Macron.
Sumber diplomatik Prancis mengatakan dokumen kerja itu bukan merupakan "peta jalan" dan Prancis tidak berniat untuk mencampuri urusan Lebanon. Lebanon berada di bawah mandat Prancis sejak runtuhnya Kekaisaran Ottoman setelah Perang Dunia I hingga kemerdekaannya pada November 1943.
"Tapi seperti yang dikatakan presiden, 'seorang teman perlu menuntut dengan temannya'. Gagasan menuntut inilah yang mengharuskan elemen-elemen ini dibahas," ujar sumber yang tidak menyebutnya namanya itu.
Perdana Menteri Lebanon Hassan Diab beserta jajaran kabinetnya telah mengundurkan diri setelah ledakan di pelabuhan Beirut. Ledakan itu berasal dari ribuan ton amonium nitrat yang disimpan di salah satu gudang pelabuhan selama bertahun-tahun. Pemerintah dianggap lalai dalam mengamankan barang berbahaya dan mudah meledak yang sudah diketahui berada di pelabuhan itu.