REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Keuangan menerbitkan kembali Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) seri Sukuk Ritel kedua kalinya tahun ini karena berbagai pertimbangan. Direktur Pembiayaan Syariah Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR), Dwi Irianti Hadiningdyah menyampaikan tahun ini ada tiga seri sukuk ritel yang akan diluncurkan.
"Sebenarnya Sukuk Ritel diluncurkan satu kali per tahunnya, kemarin sudah diluncurkan satu kali pada bulan Maret 2020," katanya dalam peluncuran SR013 secara virtual, Jumat (28/8).
Namun, Kemenkeu menilai pada kondisi saat ini masyarakat butuh instrumen investasi yang aman dan likuid untuk menyimpan dana yang menganggur seiring dengan terbatasnya konsumsi. SR bersifat dapat diperjualbelikan di pasar sekunder, tidak seperti seri Sukuk Tabungan (ST) yang harus ditahan hingga akhir tenor.
Sehingga, SR menjadi instrumen likuid yang sewaktu-waktu bisa dicairkan kembali oleh investor. Dwi mengatakan, saat ini cukup banyak dana masyarakat yang awalnya dialokasikan untuk pariwisata, hiburan, hingga menikah. Namun karena pandemi, dana tersebut menganggur.
"Dana tersebut bisa ditempatkan dulu di SR dan jika sewaktu-waktu kondisi sudah kembali aman, bisa langsung dicairkan lagi," katanya.
Investor dapat menjual kembali di pasar sekunder setelah dua bulan hold period atau dua kali penyaluran imbal hasil. Setelah meluncurkan dua SR, DJPPR berencana menerbitkan seri ST pada Oktober 2020 mendatang.
Tahun ini, DJPPR berencana meluncurkan enam Surat Berharga Negara (SBN) retail. Hingga saat ini, DJPPR telah meluncurkan empat SBN, baik obligasi (ORI dan SBR) maupun sukuk (SR). Dwi mengatakan ada dua lagi SBN retail yang akan diluncurkan sampai akhir tahun, yakni ST dan ORI.
SR013 memiliki tingkat imbal hasil atau kupon 6,05 persen yang disesuaikan lebih tinggi dari imbal hasil deposito perbankan. Masa penawaran dibuka mulai 28 Agustus hingga 24 September 2020 dengan minimal pembelian Rp 1 juta dan maksimal Rp 3 miliar.
Perencana Keuangan Aidil Akbar menambahkan, SR merupakan instrumen investasi hibrid yang bisa dimanfaatkan investor di masa saat ini. Di masa sulit karena pandemi, katanya, masyarakat harus selalu siap dengan dana taktis atau dana darurat, dana jangka pendek, dan menengah.
"Instrumen investasi yang cocok adalah yang likuid dan punya masa tenor di bawah 10 tahun," katanya.
Aidil menambahkan, instrumen investasi juga harus aman dan punya risiko minim. Ia mengajak masyarakat untuk bijak dalam berinvestasi sehingga tidak mudah tergiur dengan iming-iming imbal hasil yang terlampau tinggi karena berisiko tinggi, bisa jadi investasi bodong.