REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe mengundurkan diri karena masalah kesehatan yang semakin memburuk. Hal ini diutarakan oleh sumber yang dekat dengan pejabat Partai Demokrat Liberal yang berkuasa pada Jumat (28/8).
"Pengunduran diri adalah kesepakatan akhir," ujar sumber yang tidak disebutkan namanya itu.
Abe diketahui telah melawan penyakit olitis ulserativa selama bertahun-tahun. Belum lama ini, Abe melakukan pemeriksaan medis ke rumah sakit sehingga menimbulkan spekulasi tentang jabatannya.
Abe dijadwalkan menggelar jumpa pers untuk mengumumkan pengunduran dirinya secara resmi pukul 17.00 waktu setempat.
Pengunduran diri Abe akan memicu penurunan saham dan kenaikan mata uang yen. Rata-rata indeks Nikkei turun 2,12 persen menjadi 22.727,02. Sedangkan Topix turun 1 persen menjadi 1.599,70.
Abe telah menjabat sebagai perdana menteri untuk periode kedua. Dia kembali terpillih pada Desember 2012 dan berjanji untuk menghidupkan kembali pertumbuhan ekonomi yang disebut dengan "Abenomics". Dia juga berjanji untuk memperkuat pertahanan Jepang dan merevisi konstitusi pasifis.
Abe telah melampaui rekor masa jabatan terlama berturut-turut sebagai perdana menteri. Masa jabatan Abe semestinya akan berakhir pada September 2021. Di bawah kecaman penanganan pandemi virus Corona dan skandal di antara anggota partai, dukungan untuk Abe turun ke level terendah dalam delapan tahun masa jabatannya.
Pada kuartal kedua, perekonomian Jepang telah terpukul akibat pandemi virus Corona. Sejumlah bisnis terpaksa tutup dan permintaan mobil serta ekspor lainnya merosot tajam. Pemerintah diharapkan dapat mengambil kebijakan yang lebih berani untuk mencegah resesi yang semakin dalam.
Abe telah menepati janjinya untuk memperkuat pertahanan Jepang dengan meningkatkan pengeluaran bagi militer, setelah sebelumnya selalu mengalami penurunan.
Abe juga telah mencatatkan perubahan bersejarah pada 2014. Ketika itu, pemerintahannya menafsirkan ulang konstitusi untuk mengizinkan pasukan Jepang bertempur di luar negeri untuk pertama kalinya sejak Perang Dunia Kedua. Setahun kemudian, Jepang mengadopsi undang-undang yang menghapus larangan menggunakan hak untuk membela diri secara kolektif atau membela negara sahabat yang sedang diserang.