REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Senior The Wahid Foundation Alamsyah M Djafar mengatakan gagasan tentang paham khilafah juga harus dilawan (dikonter) dengan gagasan yang menegaskan pemahaman tersebut tidak relevan di Indonesia sehingga tidak laku di masyarakat. Menurut dia, gagasan semacam khilafah akan terus hadir ketika ada masalah dengan pengelolaan negara atau krisis-krisis yang terjadi di tengah masyarakat.
”Jadi itu akan bermunculan dan saya kira hal yang lumrah saja dalam sejarah. Yang lain juga kita tahu ada juga yang seperti Sunda Empire, lalu kasus kelompok-kelompok agama baru seperti Lia Eden, kemudian gerakan seperti Gafatar. Itu akan terus bermunculan. Yang harus terus di dorong kepada masyarakat adalah memastikan gagasan itu tidak laku di masyarakat,” katanya dalam keterangan tertulis yang diterima, Jumat (28/8).
Menurut dia, pemikiran dan gagasan tidak dapat dilarang. Namun demikian, dia mengungkapkan negara baru dapat melakukan pembatasan atau bahkan menghukum seseorang atau kelompok jika bertentangan dengan UUD Pasal 28 yaitu Hak dan Kewajiban Warga Negara.
”Di situlah kemudian negara dapat membatasi melalui mekanisme hukum. Contoh misalnya ada kelompok tertentu yang mengembangkan gagasan khilafah dalam konteks ilmiah dia belum bisa dijerat dengan hukum atau sanksi, kecuali ketika mereka mulai membuat ujaran-ujaran kebencian terhadap orang yang tidak ikut mendukung khilafah. Nah itu dapat ditangani oleh hukum,” kata Alamsyah.
Menurut dia, gagasan harusnya dilawan juga dengan gagasan. Baru ketika gagasan itu berubah menjadi rencana makar dan penggalangan kekuatan baru kemudian ditindak tegas oleh hukum. Selain itu, menurutnya, jika ada isu kelompok yang ingin makar dan sebagainya tentu negara dapat memantau mereka dengan perangkat intelijen yang ada.
”Sebetulnya kita ada perangkat intelijen untuk memantau itu semua agar bisa membuktikan apakah itu betul suatu gerakan yang dapat dinyatakan sebagai gerakan makar atau tidak. Itu artinya harus ada pemantauan terhadap gerakan-gerakan semacam ini,” ujar peraih Master bidang Kebijakan Publik dari School of Government and Public Policy (SGPP) ini.
Alamsyah berpendapat tokoh agama atau tokoh masyarakat dapat diajak oleh pemerintah karena mereka memiliki massa di masyarakat. Menurutnya, langkah yang paling strategis adalah mendorong para tokoh tersebut meyakinkan kepada umatnya agama dan Pancasila sebagai dasar negara yang ada selama ini sudah final.
”Tentu pendekatannya bisa bermacam-macam sesuai media yang digunakan. Misalnya pendekatan agama, bagaimana agama Islam, Kristen memandang prinsip-prinsip dalam Islam. Kemudian juga dengan perbuatan-perbuatan atau kegiatan-kegiatan yang konkret juga dari organisasi masyarakat selama ini. Misalnya pendampingan ekonomi dan lain-lain. Yang memberikan semacam keyakinan kepada umatnya, inilah bentuk dari implementasi pancasila itu,” ujarnya.
Dia menuturkan Pancasila itu bukan mengawang-awang saja tapi juga diterapkan ke dalam kehidupan nyata di masyarakat. sehingga keluhan-keluhan yang disebut grievances, keluhan-keluhan yang memandang pemerintah ini tidak adil, Barat itu mengancam Islam itu bisa diturunkan.
”Jadi sejauh kondisi-kondisi yang melahirkan grievances ini terjadi, maka akan terus muncul upaya-upaya alternatif seperti gerakan-gerakan negara Islam atau dalam konteks yang lain misalnya NKRI bersyariah. Ini sebagai titik perlawan mereka terhadap NKRI atau kritik terhadap konsep NKRI,” kata Alamsyah.