REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemilihan Umum (KPU) masih menyusun mekanisme pelaksanaan kampanye dalam jaringan (daring) dan iklan kampanye di media daring atau media sosial (medsos). KPU masih melakukan harmonisasi terhadap rancangan perubahan Peraturan KPU Nomor 4 Tahun 2017 tentang kampanye pemilihan kepala daerah (pilkada) yang berkaitan juga dengan pandemi Covid-19.
"Tentu ada perbedaan antara iklan di media daring dengan kampanye di media daring," ujar Komisioner KPU RI, I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi dalam diskusi daring, Jumat (28/8).
Ia mengatakan, iklan kampanye akan berlangsung selama 14 hari sebelum masa tenang. Sedangkan, kampanye daring akan dilaksanakan selama masa kampanye 71 hari. Pada Pilkada 2020, masa kampenye berlangsung 26 September-5 Desember.
Saat ini, KPU meminta peserta pilkada mengupayakan dalam setiap pelaksanaan metode kampanye melalui daring. Sebab, KPU juga melakukan pembatasan misalnya jumlah peserta kampanye rapat umum yang hadir secara tatap muka.
Dalam draf perubahannya, KPU mengusulkan media penayangan iklan kampanye berupa media massa cetak, elektronik baik televisi maupun radio, lembaga penyiaran publik atau swasta, dan media daring termasuk medsos. Raka mengatakan, selama ini, iklan kampanye hanya difasilitasi oleh KPU dan tidak diperbolehkan bagi pasangan calon untuk menayangkan iklan.
Namun, Raka belum memastikan perubahan pada ketentuan iklan kampanye daring difasilitasi KPU atau bisa dilakukan sendiri oleh peserta pilkada. Tentunya ada aturan yang harus dikaji terkait durasi, frekuensi, maupun intensitasnya agar adil bagi seluruh peserta pilkada.
"Kemudian jika anggaran yang dimiliki KPU terbatas apakah mungkin seperti halnya alat peraga kampanye nanti peserta boleh menambahkan sekian persen dari yang difasilitasi," jelas Raka.
Ia mengatakan, para peserta pilkada baik partai politik, pasangan calon, dan tim kampanye akan membuat akun resmi yang kemudian didaftarkan kepada KPU sebagai media kegiatan kampanye. Terkait jumlah akun resmi yang bisa didaftarkan, KPU masih mengkajinya.
Namun, kata Raka, dalam pemilihan sebelumnya, banyak peserta pilkada yang menggunakan akun di luar akun resmi untuk berkampanye. Sementara, KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) akan lebih sulit memantau dan menjangkau setiap akun yang melakukan kegiatan kampanye.
"Pengaturan jumlah ini menjadi penting jangan sampai jumlahnya terlalu dibatasi lalu orang kampanye di luar akun yang didaftarkan, nah itu mekanisme kami yang sedang dirumuskan," tutur Raka.