REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Letnan Nariman Hammounti-Reinke mempertaruhkan nyawanya untuk Jerman di Afghanistan. Tapi jika menyangkut agamanya, dia merasa ditinggalkan oleh Bundeswehr, meski jumlah pasukan Muslim di tentara negara itu terus bertambah.
"Saya pernah mengalami situasi di mana saya berpikir, 'Ini waktu krisis. Ini bukan lagi latihan. Ini tembakan nyata dan rudal nyata yang ditembakkan ke Anda'," kata Hammouti-Reinke, tentara berusia 41 tahun di Tentara Jerman, Bundeswehr, dilansir di Qantara, Jumat (28/8).
Letnan Hammouti-Reinke adalah Muslim, Muslim Jerman, dan putri dari orang tua Maroko. Dia lahir di dekat Hanover di utara Jerman. Baginya, persiapan untuk ditempatkan di luar negeri sangat mempengaruhi dirinya baik pada tingkat pribadi maupun agama.
Ketika dia bicara tentang misi Bundeswehr-nya, orang dapat merasakan tekanan dan ketakutan berada selama berpekan-pekan bahkan berbulan-bulan di penempatan asing yang berbahaya. "Saya membawa kain kafan saya sendiri," ungkap penulis buku Ich Diene Deutschland (Saya Melayani Jerman).
"Saya harus menulis semacam pedoman untuk bos saya seandainya saya terbunuh. Dan saya harus memikirkan dan mengatur siapa yang akan memberi tahu orang tua saya jika saya meninggal."
Seorang tentara Muslim yang ditugaskan untuk misi berbahaya perlu membuat rencana secara rinci. Terlebih lagi, karena tidak ada pelayanan agamawan militer Muslim yang ditawarkan dalam tentara Jerman, tidak seperti untuk orang Kristen dan, dalam waktu dekat, orang-orang yang beragama Yahudi. "Masih ada diskriminasi dan perlakuan yang tidak setara," kata Hammouti-Reinke.
Pada akhir Januari 2020, Menteri Pertahanan Jerman Annegret Kramp-Karrenbauer bertemu dengan Ketua Dewan Pusat Muslim, Aiman Mazyek, dalam sebuah pertemuan para perwakilan agama Yahudi dan Muslim. Kramp-Karrenbauer berbicara dengan salah satu rabi tentang perjanjian untuk menghadirkan rabi militer di Bundeswehr di masa depan. Dia kemudian menoleh ke Mazyek dan berkata, "Langkah selanjutnya harus menyusul. Kita akan memulai pembicaraan di beberapa titik dan melihat bagaimana kita mencapai itu."
Mazyek bukan satu-satunya yang mengingat hal itu sebab ada pula jurnalis yang hadir. Setengah tahun berlalu dan perwakilan Dewan Pusat mengatakan bahwa sejak pembicaraan tersebut, tidak ada hal baru yang terjadi.
Sedangkan menteri kabinet dan kedua majelis parlemen telah membahas dan memutuskan soal perjanjian kapelan Yahudi yang ditandatangani, di hadapan Presiden Jerman Frank-Walter Steinmeier, oleh Kramp-Karrenbauer dan Josef Schuster, presiden Dewan Pusat Yahudi di Jerman.
Ada hampir 185 ribu tentara saat ini bertugas di Bundeswehr. Dari jumlah tersebut, sekitar 53.400 adalah Protestan dan hampir 41 ribu Katolik. Diperkirakan sekitar 300 tentara adalah pengikut agama Yahudi dan sekitar 3.000 adalah Muslim. Belum lama berselang, diperkirakan ada 3.000-4.000 Muslim yang saat ini melayani di Bundeswehr.
"Setiap prajurit adalah nomor yang relevan. Sekarang penjaga pastoral Yahudi sedang dikelola, yang sudah lama tertunda. Tetapi layanan agamawan Muslim, mereka sepertinya tidak menginginkannya," kata Hammouti-Reinke.
Seorang juru bicara Kementerian Pertahanan mengakui bahwa di angkatan bersenjata itu semakin banyak tentara Muslim yang mengabdi di militer. Semuanya berhak atas layanan agamawan dalam agama mereka. Pada prinsipnya, Kementerian Pertahanan Jerman menghitung satu pendeta untuk setiap 1.500 tentara. Apalagi hak untuk menjalankan kebebasan beragama sudah diatur dalam konstitusi.
Sementara itu, Central Contact Point for Soldiers of Other Faiths (ZASaG) yang didirikan pada 2015 akan memberikan pelayanan yang diperlukan. Jika seorang Muslim Jerman terbunuh dalam tugas aktif dalam misi luar negeri, orang hanya dapat berspekulasi bahwa ZASaG akan segera menemukan seorang imam. Saat ini, ada ribuan tentara Muslim yang siap mempertaruhkan nyawa mereka untuk Jerman tanpa negara menawarkan kepada mereka segala bentuk pelayanan pastoral.
Berbagai kelompok sosial, termasuk kelompok agama, memiliki wakil di Dewan Penasihat Internal Bundeswehr. Tetapi tidak ada yang mewakili komunitas Muslim. Undangan dibagikan secara pribadi, bukan sebagai grup. Hal ini juga bisa diterapkan pada Nariman Hammouti-Reinke, yang berjuang untuk Jerman di Afghanistan.
"Kamu harus menginginkannya," kata Aiman Mazyek, yang menambahkan bahwa dia bisa membayangkan bekerja sama dengan gereja dalam masalah ini. Ketika berbicara tentang imam yang bekerja sebagai penjaga pastoral militer, Mazyek menggunakan contoh Angkatan Darat AS.
Hammouti-Reinke mengenal tentara wanita Inggris yang mengenakan jilbab. Wanita ini mengatakan kepada Hammouti-Reinke bahwa Islam belum sampai di Jerman, meski sudah banyak Muslim yang membela negara Jerman dan memberikan hidupnya untuk Jerman. "Ini tidak adil," ungkapnya.