REPUBLIKA.CO.ID, MAROS -- Tradisi bubur syura dan membuat dodol pada 10 Muharram masih terpelihara di kalangan masyarakat di Sulawesi Selatan.
"Tradisi membuat bubur syura ini sudah dilakukan turun temurun untuk memupuk tali silaturrahmi dan jiwa sosial," kata salah seorang pemuka adat Kabupaten Maros, Sulsel Muh Haseng di Maros, Sabtu (29/8).
Dia mengatakan pesan yang ingin disampaikan pada hari-hari yang diutamakan untuk berpuasa pada 10 Muharram adalah berbagi makanan dengan tetangga, kerabat ataupun keluarga dengan membuat bubur syura.
Menurut dia, setelah dilakukan doa dan zikir bersama, maka bubur syura pun dimakan bersama pada saat buka puasa, sedang sebagian lainnya dibagikan ke tetangga atau kerabat.
Tradisi bubur syura dengan bahan dasar dari bubur beras bersantan, kemudian diberi aneka lauk dan hiasan buah-buahan, menjadi ciri khas tersendiri di Sulsel yang membedakan bubur syura di daerah lainnya.
Di wilayah kepulauan, khususnya Pulau Pajjenekang, Kecamatan Liukang Tupa'biring, Kabupaten Pangkep, warga menjadikan momen itu untuk membuat dodol dari beras ketan, gula aren, dan santan.
"Semua rumah tangga di pulau ini membuat kue dodol dan akan dibagi-bagikan pada tamu ataupun keluarga yang datang ke pulau ini," kata Madu.
Dia mengatakan momentum Muharram sebagai bulan kemenangan bagi umat Muslim dan juga menjadi pergantian tahun dalam kalender Islam, dilakukan dengan banyak berbagi, salah satunya dengan berbagi kue dodol khas Bugis Makassar.
Menurut dia, filosofi kue dodol ini manis, gurih dan liat sebagai perlambang penguatan tali silaturahim yang senantiasa manis dan gurih mewakili filosofi gula aren dan santan kelapa.
Karena itu, tradisi ini masih terus dilanjutkan karena filosofi yang dikandung dari upaya memupuk jiwa sosial untuk banyak berbagi pada Muharram.