Ahad 30 Aug 2020 06:04 WIB

Pandemi Covid-19 Bawa Penderitaan Baru untuk Keluarga Gaza

Keluarga Palestina yang hidup di tengah keterbatasan makin merana akibat pandemi.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Reiny Dwinanda
 Seorang pria Palestina yang membawa barang belanjaan untuk keluarganya tampak menyeberang penghalang beton yang digunakan untuk mengisolasi jalan yang menuju antara Gaza dan Jalur Gaza utara di tengah pandemi Covid-19 yang sedang berlangsung di Kota Gaza, Jalur Gaza, Sabtu, (29/8).
Foto: EPA
Seorang pria Palestina yang membawa barang belanjaan untuk keluarganya tampak menyeberang penghalang beton yang digunakan untuk mengisolasi jalan yang menuju antara Gaza dan Jalur Gaza utara di tengah pandemi Covid-19 yang sedang berlangsung di Kota Gaza, Jalur Gaza, Sabtu, (29/8).

REPUBLIKA.CO.ID, JALUR GAZA -- Ahmed Eissa, ayah dari dua anak yang tinggal di Jalur Gaza, sudah berjuang untuk memenuhi kebutuhan keluarga dengan 7 dolar AS per hari, sekitar Rp 100 ribuan. Penghasilan yang pas-pasan plus seringnya pemadaman listrik dan kekhawatiran perang mungkin akan meletus menambah beban hidupnya.

Tiba-tiba, virus corona menemukan jalannya ke wilayah Palestina. Pandemi ini tak ubahnya saat Israel yang memperketat blokade. Lockdown yang ketat telah mengurung semua orang di dalam rumah untuk menahan laju penyebaran.

Baca Juga

Eissa pun tidak tahu bagaimana dia akan memberi makan keluarganya. "Saya tidak punya tabungan dan saya tidak punya pekerjaan, jadi tidak ada yang mau meminjamkan uang kepada saya. Saya tidak akan mengemis dari siapa pun," katanya.

Pembatasan yang diberlakukan oleh Hamas bertujuan untuk mencegah wabah berskala luas pada populasi dua juta orang. Terlebih lagi, wilayah itu memiliki sistem perawatan kesehatan yang telah hancur oleh perang dan isolasi selama bertahun-tahun.

Karantina wilayah diberlakukan setelah ditemukannya kasus pertama yang menyebar secara lokal pada awal pekan ini. Selama berbulan-bulan sebelumnya, infeksi terbatas pada fasilitas karantina saja.

Semua pelancong yang kembali terpaksa diisolasi selama tiga pekan di pusat karantina. Hingga saat ini, pihak berwenang belum menentukan bagaimana virus itu menyebar ke populasi umum.

Dalam beberapa hari terakhir, pihak berwenang telah mendeteksi 80 kasus penularan lokal dan dua orang telah meninggal karena Covid-19. Hamas telah memperpanjang penguncian hingga 30 Agustus, memaksa sebagian besar bisnis untuk tutup dan mendirikan pos pemeriksaan untuk membatasi pergerakan.

"Kami mungkin harus menutup seluruh lingkungan dan mengunci warga di rumah mereka sambil menyediakan apa yang mereka butuhkan," kata kepala layanan keamanan Hamas, Tawfiq Abu Naim.

Terlebih lagi, Israel dan Mesir memberlakukan blokade yang melumpuhkan di Gaza setelah Hamas merebut kekuasaan tahun 2007. Israel mengatakan, penutupan itu diperlukan untuk mencegah kelompok tersebut mengimpor dan memproduksi senjata. Meskipun, kritikus melihatnya sebagai bentuk hukuman kolektif terhadap Hamas.

Dalam beberapa pekan terakhir, kelompok-kelompok yang terkait dengan Hamas telah mengirim balon dan roket pembakar ke Israel. Upaya ini bertujuan menekan Israel untuk meredakan pembatasan dan memungkinkan proyek pembangunan skala besar.

Sebagai tanggapan, Israel melancarkan serangan udara yang menargetkan infrastruktur militer Hamas, menutup zona penangkapan ikan Gaza, dan menutup satu-satunya penyeberangan komersialnya. Hal itu memaksa satu-satunya pembangkit listrik di Gaza ditutup karena kekurangan bahan bakar.

Sebagian besar warga Gaza sekarang hanya mendapatkan listrik empat jam sehari, membuat mereka tak bisa menghidupkan lemari es, AC, atau kipas angin selama berjam-jam di saat suhu berkisar sekitar 32 derajat Celcius. Istri Eissa, Majda, mengatakan, panasnya tak tertahankan.

Keluarga itu mengaku kesulitan tidur di malam hari karena panas dan sumuk. Putrinya tidur di lantai ubin karena lebih dingin. Mereka mengganti kamar, membuka dan menutup jendela, mencoba menangkap angin sesekali.

Pompa air di gedung keluarga itu pun dijalankan oleh listrik, sehingga keran menjadi kering saat listrik padam. "Piring dan cucian menumpuk di dapur. Semuanya menjadi kotor, dan saya harus terus mencuci dan membersihkan menggunakan sebotol air. Saya tidak tahan tinggal di rumah lagi," kata Majda.

Eissa biasa membeli dari nelayan dan kemudian menjual kembali ikannya di pasar lokal, pekerjaan yang katanya menghasilkan sekitar 25 syikal atau 7 dolar AS per hari. Tetapi, para nelayan terdampar oleh penutupan Israel, dan dia tidak diizinkan meninggalkan rumah karena penguncian untuk mencari pekerjaan lain.

sumber : AP
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement