REPUBLIKA.CO.ID, HONGKONG -- Setelah China memberlakukan undang-undang keamanan nasional di Hong Kong, semakin banyak warga kota itu yang mendukung target-target atau tujuan gerakan prodemokrasi. Namun, jajak pendapat menunjukkan jumlah warga yang mendukung unjuk rasa turun menjadi 44 persen.
Jumlah pengunjuk rasa prodemokrasi semakin sedikit dan tidak ada lagi demonstrasi massal yang terjadi pada 2019 lalu. Sebagian besar karena pemerintah memberlakukan peraturan pembatasan sosial untuk menahan laju penyebaran virus corona.
Survei yang digelar Hong Kong Public Opinion Research Institute (HKPORI) untuk kantor berita Reuters ini dilakukan pertama kali saat Beijing memberlakukan undang-undang keamanan di pusat keuangan Asia tersebut pada 30 Juni lalu. Dalam jajak pendapat baru-baru ini, ditemukan sebanyak 60 persen warga menentang undang-undang keamanan nasional.
Jumlahnya lebih banyak dibandingkan survei sebelumnya yang digelar pada Juni lalu ketika tidak banyak yang diketahui mengenai undang-undang keamanan nasional tersebut.
Kantor Pemimpin Kota Hong Kong Carrie Lam dan Kantor Perwakilan China untuk Hong Kong dan Makau tidak menanggapi permintaan komentar mengenai hasil survei ini. Dosen senior Departemen Administrasi Publik dan Tata Negara Chinese University of Hong Kong, Ivan Choy, mengatakan sejak undang-undang keamanan nasional diberlakukan sikap masyarakat pun berubah.
"Sekarang masyarakat semakin khawatir saat Anda mengajak orang untuk keluar (unjuk rasa)," kata Choy, Ahad (30/8).
Ia menambahkan penangkapan yang polisi lakukan meningkatkan 'kemarahan di masyarakat'. Polisi mengatakan sejak 20 Agustus mereka telah menangkap 25 orang termasuk pengunjuk rasa, aktivis, dan pemilik perusahaan media yang mereka anggap melanggar undang-undang keamanan nasional.
Undang-undang itu menghukum siapa pun yang dianggap melakukan subversi, pemberontakan, terorisme, dan berkolusi dengan pasukan asing. Pasukan Kepolisian Hong Kong tidak menanggapi permintaan komentar mengenai opini masyarakat terhadap penangkapan-penangkapan tersebut.
Pemerintah China dan Hong Kong mengatakan mereka perlu memberlakukan undang-undang keamanan nasional untuk menutupi celah yang terlihat dalam unjuk rasa besar-besaran di Hong Kong tahun lalu. Jajak pendapat menemukan dukungan warga terhadap undang-undang itu naik sedikit menjadi 31 persen.
Banyak pihak yang menilai undang-undang tersebut mengikis kebebasan Hong Kong yang dijanjikan China saat Inggris mengembalikan kota itu pada 1997 lalu. Jajak pendapat terbaru menunjukkan 44 persen responden mendukung gerakan pro demokrasi.
Dalam survei Juni lalu sekitar 51 persen responden mendukung unjuk rasa menentang undang-undang ekstradisi. Kepala HKPORI Robert Chung mengatakan penurunan sebanyak 7 poin tidak pasti Sebab masyarakat ditanya mengenai dua hal yang berbeda, yakni tentang undang-undang ekstradisi dan undang-undang keamanan nasional. Perubahan ini dilakukan setelah pemerintah Hong Kong mencabut rancangan undang-undang ekstradisi.
Jumlah sampel yang dipilih secara acak untuk ditelpon sebanyak 1.007 responden. Toleransi kesalahan (margin of error) sekitar ±3,2 persen seperti jajak pendapat sebelumnya.
Unjuk rasa memang kian jarang digelar dan semakin sedikit pesertanya. Tapi dukungan terhadap aspirasi atau tujuan gerakan pro demokrasi meningkat. Dukungan komisi independen menggelar penyelidikan mengenai cara polisi menangani unjuk rasa naik 4 persen menjadi 70 persen.
Polisi tidak menanggapi permintaan komentar mengenai meningkatnya dukungan masyarakat untuk menyelidiki aksi mereka dalam berbagai demonstrasi. Pemerintah dan polisi berulang kali mengatakan mereka menggunakan kekuatan minimal di setiap unjuk rasa.
Mereka mengatakan tujuannya adalah mengembalikan ketertiban dan keamanan. Polisi dan pemerintah menegaskan ada mekanisme pencegahan dan hukuman setiap tindak pelanggaran yang dilakukan petugas polisi.