REPUBLIKA.CO.ID,Pada akhir abad ke-19, Turki Utsmani membuka kantor konsulat di Batavia. Hadirnya Utsmani di daerah yang sekarang menjadi DKI Jakarta tersebut diawali dengan pembukaan konsul di Singapura pada 1865. Ketika itu, Utsmani menunjuk Syed Abdullah al-Junayd, seorang pedagang arab lokal yang berasal dari Hadhramaut sebagai konsul.
Frial Ramadhan Supratman, dalam Papernya berjudul Rafet Bey: The Last Ottoman Consul in Batavia During The First World War 1911-1924 yang diterbitkan Studia Islamika menuliskan, setelah berhasil menempatkan perwakilannya di Singapura, Utsmani berupaya untuk membuka konsulat lainnya di Batavia. Meski demikian, usaha Utsmani untuk menempatkan perwakilan di Tanah Jawa kerap berujung pada kegagalan. Pihak Belanda menganggap keberadaan konsulat Utsmani akan menjadi simbol dari persatuan umat Islam.
Pada 1882, Pemerintah Utsmani akhirnya menunjuk Syed Aziz Efendi dari Baghdad sebagai konsul kehormatan di Batavia. Penunjukan ini merujuk pada buku Turki Utsmani-Indonesia, Relasi dan Korespondensi berdasarkan Dokumen Turki Utsmani yang diterjemahkan Muhammad Zuhdi (dan tim) (Istanbul: Hitay Holdings, 2017). Isi suratnya yang tertanggal 17 Februari 1882 adalah sebagai berikut:
ARSIP 31
Penunjukkan konsulat kehormatan di Batavia
Bâbıâli
Nezâret-i Celile-i Hariciye
Mektub-i Hariciye Odası
Aded : 695
Başvekâlet-i Celile Cânib-i sâmîsi’ne
Ma’rûz-ı çaker-i kemîneleridir ki
Cava ceziresinde bulunan tebea-i şâhânenin muhafaza-i hukuku zımmında Bayavya’da bir şehbenderhânenin lüzum-ı te’sisi Lahey Sefaret-i seniyyesi’nden işâr olunduğuna ve mahall-i mezkâra bir şehbender tayini şehri on bin kuruş kadar bir masraf ihtiyarını lâzım gelip buna ise Hariciye büdcesinde karşılık olmadığına mebnî ileride ıcabına bakılmak ve nizâmen muayyen olan masârıfın tenziliyle hâsılât-ı mütebakiye bu tarafa gönderilmek üzere erbâ-ı liyakat ve itibardan Bağdadlı Seyyid Hızır-zâde Seyyid Aziz Efendi’nin mahall-i mezkûra Fahri Başşehbender tayini münasib ise de icra-yı merhûn-ı müsaade-i ma’âlî-ade-i cenâb-ı vekâlet-penâhileri bulunmuş olmakla emr u fermân hazret-i veliyyü’l-emrindir.
Fi 15 Rebiülevvel sene (1)299 ve fi 23 Kânûn-ı Sâni sene (12)97. Bende Arifî.
Terjemahannya:
Surat permohonan yang disampaikan oleh Menteri Luar Negeri kepada pemerintah Turki Utsmani (Sadaret) menjelaskan sebagai berikut :
Kedutaan Hague (S. Gravenhage) menjelaskan bahwa untuk menjaga masyarakat Turki Utsmani di Jawa, maka diperlukan pendirian sebuah konsulat di sana. Pengangkatan seorang konsul ini menelan biaya seharga 10.000 kurus/bulan. Tetapi, kementrian luar negeri tidak mempunyai anggaran tersebut. Sehingga jika terjadi sesuatu yang mendesak di masa depan yang memerlukan diambilnya tindakan, maka dananya akan dipotong dari pembelanjaan yang sah dari pemasukan konsulat.
Sayyid Hizir Zade Seyyid Aziz Efendi dengan karakter yang kompeten dan peduli, ditawarkan oleh perdana menteri yang agung sebagai calon konsulat kehormatan. Dalam petisi yang diserahkan oleh Perdana Menteri kepada Sultan Turki Utsmani ini mengindikasikan bahwa surat permohonan yang dikirim oleh Menteri Luar Negeri telah disampaikan untuk meminta persetujuan Sultan. Dalam balasannya, dinyatakan bahwa surat permohonan oleh Perdana Menteri dan surat permohonan yang terlampir masih diperiksa oleh Sultan, dan ia menyetujui Sayyid Aziz Efendi sebagai Konsulat Kehormatan Batavia. [17/02/1882].
Upaya penempatan konsul akhirnya terjadi setelah pada 21 April 1883, Galip Bey dari Divisi Translasi Biro Kementerian Luar Negeri Utsmani ditunjuk sebagai konsulat jenderal resmi pertama di Batavia. Penempatan Konsulat Utsmani pertama di Batavia memainkan peran penting dalam menjalin hubungan antara Utsmani dan masyarakat Muslim di Hindia Belanda. Konsulat tersebut di awasi dengan ketat oleh pemerintah kolonial yang mengakui mereka hanya sebagai perwakilan perdagangan.
Meski demikian, Konsul Utsmani Asia Tenggara di Singapura memiliki peran untuk melindungi kaum Muslimin dari eksploitasi kolonial. Menurut konsul, kolonialisme telah menciptakan kemiskinan. Untuk itu, Utsmani memberikan donasi untuk mengurangi kemiskinan di negara-negara Timur Jauh. Konsul Utsmani tidak hanya berfungsi sebagai kantor perwakilan perdagangan, tetapi mereka juga menjadi agen untuk membawa modernisasi dari Istanbul ke Batavia, demikian menurut arsip Utsmani. Kemiskinan dan kolonialisme menjadi isu penting yang sampai ke Sublime Porte hingga memicu lahirnya kebijakan untuk membantu warga nusantara seperti pada bidang pendidikan.
Alwi Shahab dalam salah satu artikelnya di Republika.co.id bertajuk Kantor Khilafah Ottoman Jadi Tempat Mengadu Rakyat Indonesia mengungkapkan, Museum Tekstil Jakarta pernah menjadi kantor Konsul Turki Sayed Abdul Azis Al Musawi. Konsulat Utsmani ini menjadi salah satu tempat mengadu bagi orang Indonesia dalam menghadapi kekejaman penjajahan Belanda.
Sayed Abdul Azis Al Musawi menikah dengan Siti Rohani yang merupakan putri pejuang kemerdekaan Pangeran Sentot Alibasyah yang menjadi anak angkat Sultan Bengkulu terakhir. Pasangan ini dikaruniai seorang putri bernama Syarifah Mariam yang kemudian menikah dengan Sayed Abdullah bin Alwi Alatas.
Setelah Konsul Turki ini meninggal (1885) rumah tersebut berikut dua buah rumah yang berada di kiri kanannya, masing-masing Jl Petamburan (Jl Karel Satsuit Tubun No 2 dan No 6) dibeli menantunya, Sayed Abdullah bin Alwi Alatas. Ia kemudian merenovasinya sebagaimana bentuknya sekarang ini.
Menurut Abdullah bin Abbas Alatas, saat kakeknya, Sayed Alwi Alatas, menempati rumah barunya itu semangat gerakan pan Islam tengah berkobar di Jakarta. Bahkan, ia sendiri merupakan salah satu tokoh dari gerakan yang sangat ditentang Belanda ini.