REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, realisasi anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) per Rabu (26/8) mencapai Rp 192,53 triliun. Angka ini baru sekitar 27,7 persen dari pagu anggaran yang disiapkan, yaitu Rp 695,2 triliun, dan naik sekitar dua basis poin dibandingkan realisasi dua pekan lalu.
Kepala Pusat Kebijakan Sektor Keuangan Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Adi Budiarso menjelaskan, realisasi PEN menunjukkan upaya pemerintah untuk menangani pandemi Covid-19 dari berbagai bidang, termasuk kesehatan dan ekonomi.
"Ini menunjukkan langkah kita harus kerja sama terus untuk memastikan kecepatan, akurat dan akuntabel (penanganan pandemi)," tuturnya dalam Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Komisi VI DPR di Jakarta, Senin (31/8).
Adi memastikan, pelaksanaan program-program PEN akan terus dipantau oleh pemerintah. Tidak terkecuali BKF Kemenkeu yang bertindak sebagai perumus kebijakan, rutin memonitor realisasi anggaran per 10 hari bersama jajaran eselon satu Kemenkeu dan Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Dalam menjalani program PEN, Adi mengakui, ada dua kendala yang menyebabkan realisasinya berjalan lambat. Pertama, kebijakan yang harus dilakukan secara cepat, namun tetap harus akuntabel.
Adi menjelaskan, untuk menyesuaikan dengan kondisi pandemi Covid-19, pemerintah harus segera membuat Peraturan Perundang-Undangan (Perppu) yang kemudian diresmikan ke Undang-Undang (UU). "Itu dalam setahun, kita selesaikan dalam waktu sangat cepat," ujarnya.
Implementasi UU pun tidak bisa diaplikasikan secara langsung. Adi menuturkan, masih dibutuhkan Peraturan Presiden (Perpres) untuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), sementara APBN juga butuh Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) dan instrumen lain. Semua harus dilakukan dengan cepat yang bahkan membutuhkan intervensi langsung dari Presiden Joko Widodo.
Tantangan kedua, implementasi yang membutuhkan data dengan cepat. Adi memberikan contoh, pelaksanaan bantuan subsidi kerja Rp 2,4 juta untuk pegawai yang memiliki gaji maksimal Rp 5 juta per bulan. Realisasinya dibutuhkan data dari BPJS Ketenagakerjaan yang tentu harus diverifikasi dalam jangka waktu pendek.