REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Tradisi penulisan, penyalinan, dan penyebaran naskah-naskah keagamaan di dunia Melayu-Indonesia memiliki keterkaitan dan berkolerasi dengan proses Islamisasi yang terjadi. Dalam buku Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia, Prof Dr Hasan Muarif Ambary memaparkan kehadiran para pedagang berkebangsaan Arab, Persia, dan Gujarat di beberapa pelabuhan di wilayah nusantara pada tahap awal yang setidaknya telah memperkenalkan kepada penduduk setempat tata cara melaksanakan ibadah Islam.
Upaya pengenalan ajaran Islam ini dilakukan melalui fase-fase kontak sosial budaya antara para pedagang Muslim dan penduduk setempat. Salah satu bentuk kontak sosial budaya yang berlangsung di antara mereka dilakukan melalui perkawinan. Menurut Prof Ambary, dalam kurun waktu abad ke-7 hingga ke-10 M sangat mungkin terdapat hubungan perkawinan antara pedagang Muslim asing dan penduduk setempat sehingga mereka beralih menjadi Muslim.
Walaupun pada periode tersebut Jawa tidak disebut-sebut sebagi tempat persinggahan pedagang Muslim; di Leran, Gresik, terdapat sebuah batu nisan dari Fatimah binti Maimun yang wafat pada tahun 475 H/1082 M. Selain makam tersebut, ada beberapa makam yang tidak berangka tahun. Jenis nisan pada makam-makam itu seperti yang ditemukan di Campa, berisi tulisan yang berupa doa-doa kepada Allah.
Pengaruh Islam mulai kuat mengakar di wilayah nusantara selama kurun waktu abad ke-13 M hingga ke-16 M. Hal ini ditandai dengan mulai berdirinya beberapa kerajaan Islam di sejumlah wilayah di nusantara. Misalnya, Kerajaan Samudra Pasai di wilayah Aceh Utara pada awal abad ke-13 dan Kerajaan Malaka pada awal abad ke-14 di Semenanjung Malaysia. Sultan Mansyur Syah (wafat 1477 M) adalah sultan keenam Kerajaan Malaka yang membuat Islam sangat berkembang di pesisir timur Sumatra dan Semenanjung Malaka.
Di bagian lain Indonesia, Jawa saat itu sudah memperlihatkan bukti kuatnya peranan masyarakat Muslim, terutama di pesisir utara. Pusat-pusat perdagangan di pesisir utara, yakni Gresik, Demak, Cirebon, dan Banten, sejak akhir abad ke-15 dan permulaan abad ke-16, telah menunjukkan kegiatan keagamaan oleh para wali di Jawa.
Seperti halnya peran para wali di wilayah Jawa, penyebaran Islam di wilayah lain juga berlangsung berkat peran dan andil para ulama setempat. Tercatat, beberapa ulama besar pribumi yang melakukan sosialisasi Islam di nusantara. Pada abad ke-17, dari Aceh muncul ulama-ulama besar yang karya-karyanya berperan secara luas di luar Aceh sampai ke tanah semenanjung. Para ulama tersebut antara lain Syamsuddin al-Sumatrani, Hamzah Fansuri, Nuruddin ar-Raniri, dan Syekh Abdul Rauf Singkel.
Ada pula Syekh Yusuf dari Makassar yang menjadi ulama di Banten pada pertengahan abad ke-17 ketika diperintah oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Ulama lain ialah Datu Bandang dari Sumatra Barat yang dipercayai telah mengislamkan Makassar meskipun arus sosialisasi Islam di sana juga berasal dari para ulama Giri. Sunan Giri dan para ulama Giri lainnya juga berperan penting dalam sosialisasi Islam di Banjar, Ternate, dan Tidore. Kemudian, ada Syekh Nawawi al-Bantani yang berperan dalam Islamisasi Bima atau Sunan Gunung Jati di Cirebon dan Banten.