REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi III DPR RI Wihadi Wiyanto merespons Kejaksaan Agung (Kejagung) yang berwacana mengenakan pasal pemufakatan jahat ke jaksa Pinangki, terkait kasus Djoko Tjandra. Wihadi mengingatkan, pasal tersebut bisa dijadikan pasal tambahan, namun tak dijadikan pasal utama.
"Kalau Kejagung menetapkan pasal pemufakatan boleh-boleh saja tapi itu hanya menjadi pasal tambahan bukan pasal utama mengaburkan permasalahan awal," kata Wihadi saat dikonfirmasi, Ahad (30/8).
Dia menilai, justru lebih tepat disangkakan kepada Pinangki adalah pasal penyuapan karena Djoko Tjandra melakukan tindakan pidana penyuapan kepada aparat negara. "Penyuapan terhadap aparat negara dilakukan oleh Djoko Tjandra melalui orang-orangnya itu," kata dia.
Menurut politikus Partai Gerindra ini, harus dipertegas bukan pemufakatan jahat, itu mengaburkan penyuapan yang dilakukan Djoko Tjandra terhadap Jaksa Pinangki. Upaya Djoko Tjandra dalam memberikan dugaan suap itu juga harus diproses jelas.
"Jadi, penyuapan ini bisa terjadi semua, ini memang bisa dikatakan korupsi juga karena ada penyuapan, kalau pemufakatan jahat sekali lagi ini hanya menjadi pasal tambahan sehingga ini memperkuat daripada pasal awalnya," ujarnya.
Sebelumnya, Kejagung mengatakan, membuka opsi mengenakan pasal pemufakatan jahat ke jaksa Pinangki, yang merupakan tersangka kasus suap Djoko Tjandra. Kejagung mengatakan pasal tersebut juga sudah didiskusikan.
"(Pasal pemufakatan) itu sudah kita diskusikan. Tidak itu sajalah, banyak beberapa yang kita sangkakan pasal yang kita konstruksikan untuk Pinangki," kata Dirdik Jampidsus Kejagung Febrie Adriansyah di gedung Kejagung
Seperti diketahui, jaksa Pinangki ditetapkan sebagai tersangka kasus suap Djoko Tjandra. Kejagung menyebut jaksa Pinangki berperan dalam pengurusan PK (peninjauan kembali) kasus Djoko Tjandra. Pinangki juga melakukan pertemuan dengan Djoko Tjandra di Malaysia bersama-sama dengan pengacara Djoko Tjandra, Anita Kolopaking.