REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Perindustrian (Kemenperin) akan menambah penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) yang bersifat wajib terhadap sejumlah produk logam. Penambahan SNI wajib ini guna memperkokoh daya saing industri logam di Tanah Air sekaligus mengamankan pasar dalam negeri.
“Masih terdapat ribuan SNI sukarela bidang industri yang bersifat tidak mengikat dan berpotensi untuk kita wajibkan dalam rangka pengamanan pasar dalam negeri, termasuk untuk sektor industri logam,” kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Kemenperin Doddy Rahadi lewat keterangannya di Jakarta, Senin (31/8).
Menurut Doddy, penerapan SNI wajib dinilai dapat menekan impor yang tidak bertanggung jawab. “Jadi, kita dapat mengawasi dan melakukan tindakan hukum sehingga penyerapan pasar terhadap produk industri nasional bisa lebih optimal. Contohnya bagi industri baja,” tuturnya.
Doddy menyebutkan saat ini terdapat 147 kode HS yang tersebar pada 28 SNI wajib sektor logam. “Hal ini sepertinya merupakan celah membanjirnya produk-produk impor ke pasar dalam negeri jika tidak mendapatkan perhatian serius dari segenap pemangku kepentingan dalam pertumbuhan industri baja nasional,” paparnya.
Apalagi baja merupakan salah satu komoditas vital dalam perindustrian dan digolongkan sebagai industri hulu dalam Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN). “Baja sering disebut sebagai mother of industries karena merupakan bahan baku utama yang menunjang bagi kegiatan di sektor lain seperti industri otomotif, maritim, dan elektronik,” imbuhnya.
Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita menegaskan pemerintah bertekad untuk terus melindungi industri dalam negeri dari serbuan produk impor. “Maka itu, diperlukan instrumen guna memacu daya saing produk nasional sekaligus menjaga kesehatan serta keselamatan konsumen dan lingkungan,” ujarnya.
Instrumen yang umumnya diterapkan di Indonesia adalah pemberlakuan SNI secara wajib, yang fokus utamanya untuk produk-produk yang berkaitan dengan Keamanan, Kesehatan, Keselamatan manusia dan Lingkungan (K3L).
“Dengan tetap mengedepankan azas fairness dalam perdagangan internasional, implementasi SNI wajib dapat bertujuan untuk meningkatkan akses pasar luar negeri dan menekan laju impor,” tandasnya.
Sementara itu Presiden Direktur PT Sunrise Steel Henry Setiawan yang juga menjabat Direktur Utama PT Kepuh Kencana Arum mengemukakan kebutuhan baja lapis aluminium-seng (BjLAS) nasional saat ini sebesar 1,5 juta ton per tahun.
Kebutuhan tersebut sebenarnya sudah dapat dipenuhi oleh industri dari dalam negeri sesuai dengan kapasitas terpasangnya. “Namun, kondisi yang terjadi masih banyak terdapat impor BjLAS, sehingga industri dalam negeri belum berani memaksimalkan kapasitas produksinya,” ungkap Henry.
Saat ini PT Sunrise Steel mempunyai kapasitas produksi terpasang sebesar 260 ribu ton per tahun yang akan ditingkatkan menjadi 400 ribu ton per tahun. “Kami berharap akan menjadi pemasok baja lapis aluminium-seng terbesar di Indonesia,” ucapnya.
Guna mewujudkan target substitusi impor sebesar 35 persen pada tahun 2022, Doddy menambahkan, perlu adanya penguatan industri dalam negeri dan pembatasan impor terutama untuk produk yang sudah dapat diproduksi oleh industri dalam negeri seperti produk BjLAS.
Langkah-langkah yang akan dilakukan Kemenperin dalam upaya penguatan industri dalam negeri, antara lain memperbanyak SNI dan technical barrier untuk mengontrol impor produk, simplifikasi prosedur SNI, penyiapan organisasi di industri, pengawasan dan penegakan hukum, memperbanyak laboratorium uji, merampingkan LSPro, serta memperketat SPPT SNI.
“Dengan langkah-langkah tersebut diharapkan pembatasan impor baja dapat dilakukan serta industri baja nasional mampu memenuhi kebutuhan baja dalam negeri sehingga target substitusi impor 35 persen pada tahun 2022 dapat tercapai,” pungkasnya.