REPUBLIKA.CO.ID, PARIAMAN -- Sekitar 95 persen dari 1.183 orang nelayan di Kota Pariaman, Sumatera Barat, masih menggunakan cara tradisional. Hal ini dianggap mempengaruhi produksi ikan tangkap di daerah itu.
"Saat ini masih banyak nelayan yang menggunakan kapal-kapal kecil dengan mesin robin yang dimodifikasi dengan jarak tempuh yang pendek," kata Kepala Bidang Kelautan dan Perikanan Dinas Pertanian Pangan dan Perikanan Kota Pariaman, Citrha Aditur Bahri di Pariaman, Senin (31/8).
Ia menjelaskan, meskipun nelayan di daerah itu ada yang memiliki kapal ukuran diatas 5 gross ton (gt) namun jumlahnya sedikit. Tidak heran produksi ikan tangkap di Pariaman setiap tahunnya berkisar enam ribu ton.
Ia menyebutkan, adapun jumlah kapal nelayan yang berukuran besar di daerah itu, yaitu 15 unit kapal ukuran 5 hingga 10 gt dan 10 unit kapal yang memiliki ukuran di atas 10 gt. Dengan kapal kecil dan dimodifikasi tersebut maka tidak saja peluang ikan yang ditangkap sedikit namun juga membahayakan kepada nelayan.
"Hal tersebut karena mesinnya mudah rusak bahkan tempat bahan bakarnya digantung sehingga potensi terbakar pun tinggi, pada dasarnya mesin yang digunakan itu bukan untuk di laut dan mungkin juga cepatnya mesin itu rusak karena nelayan juga kurang merawatnya," ujarnya.
Ia menambahkan penggunaan mesin robin modifikasi tersebut berawal sekitar 2003 yang pada saat itu nelayan masih menggunakan dayung. Namun hingga kini, nelayan masih banyak menggunakannya karena lebih murah daripada mesin tempel yang memang diperuntukkan untuk mesin kapal ke laut.
Citrha menerangkan pihaknya secara bertahap sudah memberikan bantuan mesin tempel serta alat tangkap lainnya kepada nelayan di Pariaman guna membantu meningkatkan hasil tangkap namun hanya bisa dilakukan secara bertahap. Ia meminta kepada nelayan yang mendapatkan bantuan tersebut untuk lebih semangat meningkatkan hasil tangkapnya sehingga dapat meningkatkan perekonomian keluarga.