REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (LBM PWNU) DKI Jakarta bersama PSN (Paguyuban Santri Nusantara) dan FBMPP (Forum Bahtsul Masail Pondok Pesantren) mengadakan acara bahtsul masail dan diskusi dengan tema bahasan “Menimbang Maslahat RUU Cipta Kerja”, Sabtu (29/8).
Acara diselenggarakan di Kantor PWNU DKI Jakarta Jl. Utan Kayu No. 108, Utan Kayu Utara, Matraman, Jakarta Timur. Kegiatan itu dihadiri 50 kiyai, di antaranya Kiyai Zainul Ma’arif, Kiyai Rodilansyah, Kiyai Faruq Hamdi, Kiyai Saepullah, Kiyai Acmat Hilmy, Kiyai Fuad, Kiyai Kam Taufiq, Ustadz Ade Pardiansyah, dan yang lain. Kiyai Imam Sobarul Adzim bertindak selaku moderator.
KH Dr Mulawarman MA dalam sambutannya mewakili pengurus PWNU DKI Jakarta menyatakan, pembahasan RUU Cipta Kerja sangatlah penting untuk dibahas. “Hal itu karena NU mempunyai kepentingan untuk kemaslahatan anggota NU itu sendiri, yang diakui sebagai organisasi masyarakat (ormas) terbesar di Indonesia,” ujarnya seperti dikutip dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Senin (31/8).
Ia menambahkan, RUU Cipta Kerja adalah upaya penciptaan kerja melalui usaha kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan, usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem investasi dan kemudahan berusaha, dan investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis nasional. “Maka mengkaji RUU ini menjadi sebuah keharusan karena akan berdampak besar kepada anggota NU. Sebagai contoh, jika kita melihat di Kawasan industri Cikarang, Bekasi, maka akan kita jumpai sebagian besar kaum buruh adalah warga NU,” imbuhnya.
Terlebih, menurut KH Mukti Ali Qusyairi, MA, banyak hoaks mengenai RUU ini yang sudah tersebar di masyarakat melalui medsos. Salah satunya adalah mengenai izin pendirian pesantren, bahwa dalam RUU Cipta Kerja terdapat pasal mengenai pesantren yang harus berbadan hukum dan izin dari pemerintah. Apabila pesantren tidak memiliki izin maka akan didenda sebesar Rp 1 miliar.
“Berita tersebut ternyata bohong, karena tidak ada pasal mengenai aturan perizinan pesantren tersebut. Sebab, pesantren memiliki UU sendiri, yang tidak ada kaitannya dengan UU Cipta Kerja. Undang-Undang Pesantren sudah selesai dan disahkan pada Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2019 Tentang Pesantren,” paparnya.
Lebih lanjut Mukti Ali dalam sambutannya menyatakan bahwa pembahasan mengenai RUU Cipta Kerja penting untuk dibahas terlebih di masa pandemi wabah Covid-19 ini, di mana dunia sedang di ambang resesi termasuk Indonesia. “RUU ini penting untuk dibahas, karena membahas mengenai peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha; ketenagakerjaan; kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan UMK-M serta perkoperasian; kemudahan berusaha; dukungan riset dan inovasi; pengadaan lahan; kawasan ekonomi; investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis nasional; pelaksanaan administrasi pemerintahan; dan pengenaan sanksi,” ujarnya.
Dalam bahtsul masail dibahas tiga persoalan yang terfokus pada soal investasi dan UMKM. Pertama, termasuk akad apakah investasi dan bagaimana hukumnya? Kedua, bagaimana hukum pemerintah mengatur di dalam negara, agar kemaslahatannya untuk rakyat bisa maksimal dan untuk pembagunan kemajuan bangsa? Ketiga, bagaimana hukum orang yang melarang atau mempersulit investasi, sedangkan investasi membawa kemaslahatan bagi masyarakat agar terciptanya lapangan pekerjaan?
Jawaban dari hasil diskusi 50 kiai yang terlibat dalam acara Bahtsul Masail PWNU DKI yang dirumuskan oleh Kiyai Asnawi Ridwan (pengasuh Pesantren Fasihuddin Depok dan pengurus LBM PBNU) dan Kiyai Yazid Fatah (pengasuh Pesantren as-Shiddiqiyah Bogor dan Ketua Aswaja Center PWNU Jawa Barat).
Kiai Yazid Fatah menyatakan bahwa investasi termasuk akad qiradh/mudharabah. Jika memenuhi prinsip-prinsip ketentuan yang ada pada akad qiradh/Mudharabah, maka hukumnya boleh.
Dipertegas lagi oleh Kiai Asnawi Ridwan, bahwa investasi banyak dijelaskan di dalam kitab kuning sebagai transaksi yang absah. Dalam istilah Syekh Wahbah al-Zukhaili yang dikutip Kiai Zainul Ma’arif, investasi adalah al-istismar al-musyarakah.
Kiai Asnawi Ridwan pun menegaskan bahwa hukumnya wajib bagi pemerintah untuk mengatur investasi dan berbagai hal di dalam negara, karena disebutkan dalam kaidah fikih prinsip pemimpin yaitu “tasharuf al-imam 'ala al-ra'iyyah manuthun bi al-maslahah” (kebijakan pemimpin harus berdasarkan kemaslahatan). “Maslahah yang dianggap adalah maslahah yang dihasilkan melalui hasil kajian para pakar di berbagai bidang dan ulama (termasuk Lembaga Bahtsul Masail),” ujarnya.
Ia menegaskan, jika perizinan investasi sudah melalui kajian para pakar dan ulama, maka pelarangan atau mempersulit investasi tidak boleh. “Kita wajib menjaga marwah pemerintah dari mereka yang serba menyalahkan apapun yang diprogramkan dan dilakukan pemerintah, tanpa mau berfikir secara adil dan obyektif,” tutur Kiyai Asnawi Ridwan.
Adapun rekomendasi 50 kiai kepada pemerintah, di antaranya yaitu; pertama, diharapkan pemerintah memudahkan proses perizinan, melindungi, dan memberdayakan usaha kecil menengah (UMKM). Kedua, pemerintah membatasi pemodal besar yang dapat berdampak negatif terhadap UMKM. Ketiga, pemerintah memberi proteksi terhadap keberlangsungan/eksistensi usaha kecil menengah (UMKM).