Selasa 01 Sep 2020 14:58 WIB

DPR Sahkan RUU Mahkamah Konstitusi di Paripurna

Rapat Paripurna DPR mengesahkan RUU Makhamah Konstitusi menjadi undang-undang.

Rep: Arif Satrio Nugroho/ Red: Bayu Hermawan
Menteri Keuangan Sri Mulyani (kanan) membacakan tanggapan pemerintah atas pandangan umum fraksi terhadap RUU APBN tahun 2021 beserta nota keuangannya dalam Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (1/9/2020). Rapat itu beragenda mendengarkan tanggapan pemerintah atas pandangan umum fraksi terhadap RUU APBN tahun 2021 beserta nota keuangannya serta pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi undang-undang.
Foto: ANTARA/Akbar Nugroho Gumay
Menteri Keuangan Sri Mulyani (kanan) membacakan tanggapan pemerintah atas pandangan umum fraksi terhadap RUU APBN tahun 2021 beserta nota keuangannya dalam Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (1/9/2020). Rapat itu beragenda mendengarkan tanggapan pemerintah atas pandangan umum fraksi terhadap RUU APBN tahun 2021 beserta nota keuangannya serta pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi undang-undang.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- DPR RI mengesahkan Rancanagn Undang-undang (RUU) tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi Undang-undang. RUU itu disahkan pada Rapat Paripurna DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Selasa (1/9).

Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad selaku pimpinan Rapat Paripurna mengetuk palu pengesahan setelah mendapat persetujuan dari anggota yang hadir. Berdasarkan catatan Sekretariat Jenderal DPR RI yang disampaikan Ketua DPR Puan Maharani, Rapat Paripurna DPR pada hari ini dihadiri sebanyak 495 anggota dewan, di mana 111 anggota hadir secara fisik dan 280 anggota hadir secara virtual.

Baca Juga

Ketua Panja RUU MK Adies Kadir mengatakan secara umum terdapat lima substansi dalam revisi UU MK yang saat ini dibahas oleh DPR dan pemerintah. Pertama, terkait kedudukan, susunan, dan kewenangan MK. Kedua, pengangkatan dan pemberhentian hakim MK dan perubahan masa jabatan ketua dan wakil ketua MK.

Ketiga, lanjut politikus Partai Golkar itu, perubahan usia minimal, syarat, dan tata cara seleksi hakim MK. Keempat, penambahan ketentuan baru mengenai unsur majelis kehormatan MK. Terakhir, tentang pengaturan peraturan peralihan.

Untuk diketahui RUU MK mendapatkan penolakan dari ejumlah kelompok masyarakat sipil dan LSM yang tergabung dalam Koalisi Save MK Salah seorang anggota koalisi, Agil Oktaryal berpendapat, pembahasan RUU itu sarat dengan barter kepentingan. Hal itu, kata dia, terlihat dari pasal-pasal yang diduga sebagai titipan.

"Yang terjadi justru adalah ada pasal-pasal krusial yang coba dititipkan," katanya.

Ketua Komisi III DPR RI Herman Herry berharap dengan disahkannya RUU MK ini, proses rekrutmen hakim Mahkamah Konstitusi dilakukan secara transparan dan akuntabel.

"Melalui RUU ini harapannya dapat memperkuat posisi Mahkamah Konstitusi sebagai Pengawal Konstitusi, khususnya dalam menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman yang merdeka, mempunyai peranan penting guna menegakkan keadilan dan prinsip negara hukum sesuai kewenangan dan kewajibannya," kata dia, Senin.

Menurut Herman, DPR bersama Pemerintah menyetujui agar proses rekrutmen hakim MK di masing-masing lembaga negara, yakni Presiden, DPR, dan MA, mengedepankan prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas. Dengan demikian, masyarakat bisa bersama-sama melakukan pengawasan terhadap proses rekrutmen tersebut.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement