REPUBLIKA.CO.ID, ABU DHABI -- Pejabat senior Pemerintah Amerika Serikat (AS) dan Pemerintah Israel telah mendarat di Uni Emirat Arab (UEA) pada Senin (31/8) waktu setempat. Mereka datang untuk menyelesaikan kesepakatan normalisasi hubungan UEA dengan Israel.
Penasihat senior Gedung Putih Jared Kushner dalam pidato kedatangannya menyinggung soal Palestina. Ia mengatakan warga Palestina tidak seharusnya "terjebak di masa lalu".
Kesepakatan itu memang berkaitan dengan upaya Palestina mengembalikan wilayahnya yang diduduki Israel. Kesepakatan yang diumumkan pada 13 Agustus lalu itu adalah yang pertama kalinya dilakukan oleh negara Arab dalam 20 tahun terakhir. Kesepakatan yang ditengahi AS itu bisa terwujud salah satunya karena mereka memiliki musuh bersama yakni Iran.
Namun, warga Palestina kecewa dengan langkah UEA. Mereka melihatnya sebagai sebuah pengkhianatan. Kesepakatan itu melemahkan posisi pan-Arab lama yang mensyaratkan Israel menarik diri dari wilayah Palestina yang tengah diduduki dan mengakui kemerdekaan Palestina jika ingin menormalisasi hubungan dengan negara-negara Arab.
Sedangkan Kushner, yang juga menantu dari Presiden AS Donald Trump, meminta Palestina melunak. Ia mengajak Palestina untuk berunding.
Penerbangan langsung antara kedua negara juga akan menjadi agenda, kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Israel kepada televisi al Arabiya setelah mendarat di Abu Dhabi.
AS juga akan mengambil peran. Kushner berkata Washington akan mempertahankan keunggulan militer Israel sembari memajukan hubungan dengan UEA, negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia Arab.
Perdana Menteri Israel menyambut pertemuan itu lewat sebuah cuitan. "Seperti itulah perdamaian untuk perdamaian," katanya menjelaskan kesepakatan untuk hubungan formal dengan negara Arab yang tidak memerlukan penyerahan tanah yang direbut Israel dalam perang Timur Tengah tahun 1967.
Kelompok Hamas, yang mengontrol wilayah Palestina di Gaza, mengutuk UEA. Penerbangan delegasi tersebut telah "menikam rakyat Palestina dari belakang, sebuah pendudukan yang berkepanjangan, dan pengkhianatan terhadap perlawanan rakyat (Palestina)," kata Hamas dalam sebuah pernyataan.
Adapun bagi AS, kesepakatan itu adalah sebuah kemajuan dalam kebijakan luar negeri. Presiden AS diuntungkan jelang pertarungannya di pemilihan presiden AS pada November 2020 mendatang.