REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR – Peran subsektor perikanan tangkap terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) memang relatif kecil, namun menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar.
“Secara makroekonomi peran subsektor PT (Perikanan Tangkap) terhadap perkonomian nasional relatif rendah, yakni 1,6% terhadap PDB dan nilai ekspor hanya 2 miliar dolar AS pada 2019. Namun, subsektor PT menyerap sekitar 2 juta tenaga kerja langsung (1,7 juta orang nelayan laut dan 0,3 juta nelayan PUD) dan sekitar 3 juta orang yang bekerja di industri hulu dan industri hilir nya. Karena, rata-rata ukuran keluarga nelayan adalah 4 orang (ayah, istri, dan 2 orang anak); maka jumlah orang yang bergantung pada subsektor PT adalah 20 juta orang atau 15% total angkatan kerja Indonesia (130 juta orang),” kata Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB, Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri MS.
Ia mengungkapkan hal tersebut pada webinar “Tata Kelola Penangkapan Ikan yang Bertanggung jawab dan Berkelanjutan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Tangkap Republik Indonesia” yang diadakan oleh Balai Besar Penangkapan Ikan Semarang (BBPI)-Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Senin (31/8).
Prof Rokhmin menambahkan, sekitar 65% total asupan protein hewani rakyat Indonesia dari ikan dan seafood (Puslitbang Gizi, 2012), dan ikan dan seafood yang berasal dari PT sekitar 60%. “Dalam hal volume produksi, subsektor PT berkinerja sangat baik. Pada 1999, Indonesia merupakan produsen perikanan tangkap terbesar ke-6 di dunia, pada 2004 produsen terbesar ke-3 di dunia, dan sejak 2009 hingga kini menjadi produsen terbesar ke-2 di dunia (FAO, 2006; FAO, 2010; dan FAO, 2020),” tuturnya seperti dikutip dalam rilis yang diterima Republika.co.id.
Ia uga mengemukakan, Indonesia memiliki potensi produksi lestari (MSY) sumber daya ikan (SDI) terbesar di dunia 15,57 juta ton/tahun (laut 12,54 juta ton/tahun, dan PUD 3,03 juta ton/tahun). “Para nelayan membantu penyelamatan kecelakan di laut, dan menegakkan kedaulatan wilayah NKRI. Nelayan bukan hanya profesi ekonomi, tetapi juga tentang budaya dan hak kehidupan,” ujar ketua Dewan Pakar MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara) itu.
Dalam kesempatan tersebut, Prof Rokhmin mengungkapkan permasalahan dan tantangan pembangunan perikanan tangkap. Antara lain, sekitar 40% nelayan masih hidup dibawah garis kemiskinan (pendapatan < US$ 300 [Rp 4,2 juta] per bulan); kontirbusi sektor KP dan subsektor PT terhadap PDB masih sangat rendah (2,6% dan 1,6%); nilai ekspor perikanan masih sangat kecil (4,5 miliar dolar AS). “Bandingkan dengan Thailand (8,5 miliar dolar AS), dan Vietnam (7,4 miliar dolar AS) (FAO, 2020),” kata ketua umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) itu.
Selain itu, Rokhmin menambahkan, sebagian besar (98%) nelayan tradisional dengan ukuran kapal < 20 GT dan fishing gears kurang efisien, sehingga produktivitas (CPUE) rendah; IUU fishing oleh nelayan asing masih marak, karena sangat sedikit Kapal Ikan Indonesia (>30GT) yang beroperasi di fishing grounds yang selama ini dijarah nelayan asing (70%), dan lemahnya law enforcement (30%); mayoritas nelayan belum menerapkan Best Handling Practices, sehingga kualitas ikan rendah; dan sebagian besar pelabuhan perikanan belum memenuhi persyaratan higienis dan sanitasi, belum dilengkapi dengan forward - and backward – linkage industries (industri hulu dan hilir).
Faktor lain, lokasi sentra penangkapan ikan berbeda dengan lokasi pasar domestik maupun lokasi pelabuhan ekspor à Sistem Logistik Ikan Nasional belum terbangun dengan baik. “Karena musim paceklik atau cuaca buruk, pada umumnya nelayan hanya bisa melaut menangkap ikan sekitar 6 – 8 bulan dalam setahun. Sekitar 4 – 6 bulan mereka menganggur, tidak ada kerjaan à terjebak renteni,” paparnya.
Permasalahan lainnya adalah posisi nelayan dalam Rantai Bisnis (tata niaga) sangat marginal. Harga sarana produksi jauh lebih mahal ketimbang harga di produsen, sedangkan harga ikan hasil tangkap jauh lebih murah ketimbang harga ikan di konsumen (pasar) terakhir. Ini karena banyaknya pedagang perantara (panjangnya rantai tata niaga); overfishing beberapa jenis stok ikan di beberapa fishing grounds (WPP), underfishing di beberapa fishing grounds (WPP) lainnya; kelengkapan dan keabsahan data (MSY, CPUE, dan jumlah dan karakteristik nelayan, dll) rendah; pencemaran, degradasi ekosistem pesisir, biodiversity loss, dan kerusakan lingkungan lain à menekan stok ikan.
“Di samping itu, perubahan Iklim Global beserta segenap dampak negatipnya (sea level rise, ocean acidification, heat waves, extreme weather, dll); kecelakan di laut, perampokan, dan kejahatan laut lainnya; kapasitas (knowledge and skills) dan etos kerja nelayan pada umumnya belum mumpuni; dan ebijakan politik-ekonomi (seperti moneter, fiskal, kredit perbankan, SDM, dan iklim investasi) belum kondusif,” tuturnya.
Koordinator Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan 2020-2024 itu lalu menjabarkan strategi mewujudkan perikanan tangkap yang menyeahterakan dan berkelanjutan. “Perikanan tangkap berkelanjutan (Sustainable Capture Fisheries) adalah sistem bio-sosial-ekonomi perikanan tangkap yang menghasilkan hasil tangkapan ikan yang mensejahterakan seluruh nelayan secara berkeadilan, dan secara simultan dapat memelihara keberlanjutan (sustainability) stok ikan beserta ekosistem perairannya,” tegas Rokhmin.
Menurutnya, prinsip-prinsip manajemen perikanan tangkap yang menyejahterakan dan berkelanjutan, paling tidak ada empat hal. Pertama, tingkat pemanfaatan SDI di suatu WPP (fishing ground) maksimum 80% MSY (TAC = Total Allowable Catch) atau MSY nya. Kedua, maksimalkan nilai ekonomi dari TAC atau MSY dengan aplikasi Best Handling Practices, Integrated Supply Chain Management System, pelabuhan perikanan (tempat pendaratan ikan) berkelas dunia, dan pengembangan industri pengolahan dan pemasaran hasil perikanan.
Ketiga, sistem bagi hasil antara pemilik kapal dengan ABK yang adil. “Keempat, pembagian kuota penangkapan dari volume total 80% MSY atau MSY itu kepada sejumlah kapal ikan dengan alat tangkap (fishing gears) tertentu, sehingga pendapatan nelayan ABK > US$ 300 (Rp 4,2 juta)/orang/bulan,” papar Prof Rokhmin Dahuri.