REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Facebook mengatakan Rusia melakukan sebuah kampanye yang menargetkan pemilih sayap kiri di Amerika Serikat (AS) dan Inggris, termasuk merekrut jurnalis lepas untuk menulis tentang politik di dalam negeri. Kampanye tersebut sebagian besar berfokus pada politik AS dan ketegangan rasial menjelang pemilihan presiden pada November mendatang.
Rusia menggunakan organisasi media palsu bernama Peace Data untuk menggencarkan kampanye tersebut. Situs web tersebut mengoperasikan 13 akun Facebook yang dibuat pada Mei. Facebook telah menangguhkan akun itu pada Senin (31/8) karena menggunakan identitas palsu.
"Dalam penyelidikan kami menemukan tautan ke individu yang terkait dengan aktivitas oleh Badan Riset Internet Rusia, sebuah perusahaan yang berbasis di St Petersburg," ujar pernyataan Facebook.
Menurut pejabat intelijen Amerika Serikat (AS), Badan Riset Internet Rusia melakukan operasi untuk memengaruhi pemilihan presiden pada 2016. Twitter juga telah menangguhkan lima akun sebagai bagian dari operasi yang terkait dengan Rusia. Pihak Peace Data maupun pejabat Rusia tidak menanggapi permintaan komentar sehubungan dengan penangguhan akun dan kampanye tersebut.
Dalam sebuah pernyataan, FBI mengatakan telah memberikan notifikasi aktivitas mencurigakan tersebut ke Facebook. "FBI memberikan informasi dalam masalah ini untuk lebih melindungi dari ancaman terhadap keamanan negara dan proses demokrasi kami," kata pernyataan FBI.
Kepala kebijakan keamanan siber Facebook, Nathaniel Gleicher, mengatakan timnya bertindak atas masukan dari FBI dan menangguhkan akun sebelum mereka mengumpulkan banyak pengikut. Menurut Gleicher jumlah pengikut akun Facebook yang dibuat oleh Peace Data sekitar 14 ribu.
"Saya pikir sangat penting bagi kita untuk mengetahui tentang ini. Saya ingin orang-orang tahu bahwa aktor Rusia masih mencoba dan taktik mereka berkembang, tetapi saya tidak ingin orang berpikir bahwa ini adalah kampanye yang besar dan sukses," ujar Gleicher kepada Reuters.
Penyelidik di perusahaan analitik media sosial, Graphika, mempelajari operasi yang dilakukan oleh Rusia. Dalam penyelidikan, Graphika menerangkan Peace Data menargetkan kelompok progresif dan sayap kiri di AS serta Inggris. Mereka juga mengunggah peristiwa di negara lain termasuk Aljazair dan Mesir. Dalam sebuah laporan, situs web Peace Data mendorong pesan-pesan kritis terhadap suara sayap kanan dan kiri tengah di AS.
"Mereka memberikan perhatian khusus pada ketegangan rasial dan politik, termasuk protes hak-hak sipil dan kritik terhadap Presiden Donald Trump dan pesaingnya dari Demokrat, Joe Biden," ujar pernyataan Graphika.
Graphika mengatakan hanya sekitar lima persen dari artikel berbahasa Inggris Peace Data yang secara langsung berkaitan dengan pemilu AS. Tetapi aspek operasi ini menunjukkan upaya untuk membangun audiens sayap kiri dan menjauhkannya dari kampanye Biden.
Peace Data menerbitkan artikel dalam bahasa Inggris dan Arab. Peace Data mengatakan situs webnya adalah organisasi berita nirlaba yang mencari kebenaran atas peristiwa-peristiwa penting dunia. Analisis Graphika menemukan, profil dalam Peace Data menggunakan foto-foto yang dibuat oleh komputer dan tidak nyata, kemudian ditautkan ke akun palsu di Facebook, Twitter, dan Linkedln.
Peace Data menawarkan bayaran sebesar 75 dolar AS per satu artikel. Situs web Peace Data mencantumkan 22 kontributor yang sebagian besar adalah jurnalis lepas di AS dan Inggris. Peace Data kemudian membagikan artikel yang mencakup berbagai masalah politik di media sosial kelompok sayap kiri. Situs tersebut telah menerbitkan lebih dari 700 artikel dalam bahasa Inggris dan Arab antara Februari hingga Agustus 2020.
“Apa yang kami lihat baru-baru ini jauh lebih kecil dan profilnya jauh lebih rendah. Sepertinya mereka berusaha semakin keras untuk bersembunyi," ujar Kepala Investigasi Graphika, Ben Nimmo.
Temuan tersebut mendukung penilaian oleh pejabat tinggi kontraintelijen AS yang mengatakan Moskow menggunakan disinformasi daring untuk mencoba melemahkan kampanye Biden. Hal ini dapat memicu kekhawatiran tentang upaya Rusia untuk ikut campur dalam pemungutan suara November mendatang.