REPUBLIKA.CO.ID, Perang Salib bukan gerakan kecil atau peristiwa yang mudah dilupakan. Perang Salib sangat berpengaruh dalam proses pembentukan identitas bagi masyarakat Barat dan Muslim.
Perang Salib meninggalkan prasangka dan kecurigaan Eropa terhadap dunia Islam. Sebaliknya, perang ini juga meninggalkan luka sejarah yang tidak mudah pupus bagi umat Islam dalam pandangannya terhadap Barat.
Perang Salib diserukan Paus Urbanus II pada 1095 M untuk menaklukkan Yerusalem dari kaum Muslim. Edward Gibbon dalam History of the Decline and Fall of the Roman Empire mengatakan, seruan perang suci itu telah menyentuh syaraf perasaan yang sangat halus dari masyarakat Eropa. Lembaga keagamaan masih menduduki posisi sentral di tengah masyarakat. Dipimpin para pendeta dan bangsawan, pasukan Salib berangkat melewati Konstantinopel menuju ke Yerussalem.
Ketika George W Bush mendeklarasikan perang melawan terorisme pada awal 2000-an, ia menggunakan istilah Perang Salib (Holy War). Perang melawan terorisme dianggap sebagai kelanjutan dari Perang Salib.
Campur tangan Barat di belantara konflik Timur Tengah disinyalir masih membawa motif Perang Salib. Professor James Turner Johnson dari Rutgers University, menyoroti keterlibatan Barat dalam konflik Timur Tengah tidak sekadar untuk mempertahankan hegemoni imperialisme, tetapi juga mengalahkan gerakan jihad. Seperti dipahami, jihad yang oleh Barat diidentikkan sebagai gerakan terorisme, menyimpan konflik peradaban.
Karen Armstrong dalam Perang Suci: Dari Perang Salib Hingga Perang Teluk menambahkan, peristiwa 11 September merupakan era baru Perang Suci di zaman modern. Dalih memerangi ekstremisme dijadikan pembenaran oleh Amerika Serikat untuk melakukan invasi ke negara-negara Muslim, seperti Perang Teluk dan Invasi Irak 2003. Jika dirunut ke abad pertengahan, kata Armstrong, invasi Amerika terhadap negara-negara Muslim ini tak ubahnya sebuah Perang Salib era modern.
Sebelum kedatangan tentara Salib, tutur Armstrong, umat tiga agama hidup dengan harmonis selama 460 tahun di kota suci Yerusalem. Tentara Salib tiba di kota ini pada Juli 1099, kemudian melakukan pembantaian puluhan ribu umat Muslim dan Yahudi.
Peristiwa itu mengubah lanskap hubungan ketiga agama besar ini secara signifikan. Upaya rekonsiliasi, seperti yang terjadi masa Shalahuddin al-Ayyubi, masih tetap menyisakan kewaspadaan antarpemeluk agama.
Armstrong melanjutkan, konflik Amerika dengan negara-negara Timur Tengah sekarang ini adalah kelanjutan Perang Salib di abad pertengahan, sedangkan pendudukan Israel atas Muslim adalah kelanjutan perang suci antara Yahudi dan Islam. Motifnya tidak lagi sebatas agama, tetapi semakin kompleks dengan berbagai kepentingan politis, ideologis, dan penguasaan sumber daya alam.