REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lamban untuk mengambil alih kasus Jaksa Pinangki Sirna Malasari. Diketahui, hingga kini lembaga antirasuah masih memilih untuk bersikap 'wait and see' terkait pengambilalihan perkara yang sedang ditangani Kejaksaan Agung (Kejakgung) tersebut.
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana mengatakan, sikap lamban KPK lantaran nahkoda lembaga antirasuah yakni Ketua KPK Firli Bahuri memang tidak menginginkan KPK terlibat dalam penanganan kasus tersebut. Ketidakinginan tersebut tampak pada pernyataan Firli beberapa waktu lalu di gedung DPR yang pada dasarnya tidak memberikan pesan apapun kepada publik.
"Seharusnya, sebagai Ketua KPK, ia bisa bersikap untuk langsung mengambil alih penanganan perkara di Kejaksaan, dengan atau tanpa persetujuan Jaksa Agung. Bukan justru bersikap normatif seperti itu," ujar Kurnia melalui keterangan tertulisnya, Rabu (2/9).
Sikap normatif Firli ini dinilainya hanya ingin KPK fokus pada isu pencegahan, tanpa memikirkan aspek penindakan. Padahal, lanjut Kurnia, ada beberapa alasan mengapa KPK harus segera mengambil alih penanganan perkara dugaan korupsi Jaksa Pinangki Sirna Malasari.
"Pertama, proses penindakan di Kejaksaan Agung berjalan lambat. Kedua, pelaku dugaan tindak pidana korupsi - Pinangki Sirna Malasari - berasal dari aparat penegak hukum. Konteks ini relevan dengan Pasal 11 UU KPK," ujar Kurnia.
Ketiga, sambung Kurnia, suap tersebut dimaksudkan untuk mengurusi fatwa di Mahkamah Agung. Bagian tersebut sangat relevan jika dikaitkan dengan historis pembentukan KPK yang dimandatkan untuk membenahi sektor peradilan dari praktik koruptif.
Sebelumnya pada Senin (31/8), Firli mengatakan KPK sudah berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung (Kejakgung) ihwal kasus Jaksa Pinangki Sirna Malasari dalam pusaran kasus korupsi Djoko Tjandra. Firli memastikan pihaknya akan mengambil alih kasus Pinangki jika perkara itu tidak selesai di tangan Kejagung. Dia mengatakan KPK akan bekerja mengambil alih kasus Pinangki sesuai dengan aturan 10A UU KPK Nomor 19 Tahun 2019.
"Dan kasus itu kita lakukan supervisi untuk penanganan selanjutnya. Tetapi kalau memang seandainya tidak selesai, sesuai dengan Pasal 10A, bisa kita ambil. Saya kira itu," ujar Firli