REPUBLIKA.CO.ID, Perang Salib diawali saat Paus Ur banus II (1099 M) mengumumkan Perang untuk membebaskan Yerusalem pada 1095. Seruan Paus itu mendapat sambutan hangat di wilayah Prancis dan sekitarnya.
Ceramah Paus, menurut Edward Gibbon di dalam History of the Decline and Fall of the Roman Empire, telah “menyentuh syaraf perasaan yang sangat halus” dari masyarakat Eropa. Dengan dipimpin oleh beberapa pendeta dan bangsawan, mereka kemudian berangkat melalui jalur darat, melewati Konstan tinopel, menuju ke Yerusalem (al-Quds).
Wilayah Asia Minor (kini Turki), Suriah, dan Palestina yang saat itu berada di bawah kendali Muslim satu per satu jatuh ke tangan tentara salib. Tentara dan masyarakat Muslimin berusaha mempertahankan kota-kota tempat tinggal mereka dari serangan orangorang Frank—sebutan untuk orang-orang Prancis atau Eropa Barat ketika itu—tetapi pada Perang Salib yang pertama ini mereka lebih sering gagal daripada berhasil.
Pada pertengahan 1099, tentara salib tiba di Yerusalem (al-Quds). Se telah mengepungnya selama lima pekan pada 15 Juli Kota Yerusalem jatuh ke tangan tentara salib. Orang-orang Frank sama sekali tidak punya rasa belas kasihan terhadap orang-orang yang ditaklukkannya. Mereka melakukan pembunuhan terhadap masyarakat Muslim dan Yahudi.
Seorang saksi sejarah di pihak Frank, yaitu Fulk of Chartes, mengatakan, “Sungguh, jika kalian berada di sana, kalian akan melihat kaki-kaki kami ber warna (merah) hingga ke lutut disebab kan darah korban .... Tak satu pun dari mereka yang dibiarkan hidup; tak satu pun perempuan dan anak-anak yang disisakan ....” Sementara Ibn al-At hir menulis, ”Selama satu pekan orang-orang Frank terus menyembelih kaum Muslimin.” Tujuh puluh ribu Muslim menjadi korban dalam peristiwa itu.
Meskipun satu amal mulia, tapi tanpa kemuliaan pelakunya, kemuliaan jihad akan sirna. Jumlah besar juga tidak banyak membantu tercapainya ke menangan. Jihad baru berfungsi dengan baik serta mampu menampakkan ke agungannya saat para pelakunya telah melakukan jihad ke atas dirinya sendiri (jihad al-nafs).
Dengan begitu, mereka dapat tampil ke atas panggung sejarah dengan kebersihan jiwa dan ketulusan pada Tuhannya. Inilah yang kemudian terjadi di dunia Islam dan memungkin kan mereka untuk melakukan perubahan besar pada masa-masa berikutnya.
Adalah Imam Abu Hamid al-Ghazali (w. 1111), salah satu ulama yang berperan penting dalam melakukan inisiatif ini. Ia berusaha meluruskan penyimpangan- penyimpangan yang terjadi di dunia Islam serta berusaha menunjukkan jalan yang perlu diambil oleh kaum Muslimin.
Al-Ghazali kemudian memilih jalan para sufi yang pada esensinya mengajak pada jihad al-nafs. Ia tidak menyerukan jihad untuk berperang dengan musuh karena tampaknya ia menyadari bahwa tanpa adanya kesuksesan dalam jihad al-nafs, kemuliaan jihad militer akan sulit untuk dicapai.
Apa yang dilakukan al-Ghazali ini pada dekade-dekade berikutnya bergulir menjadi gerakan perbaikan (islah) yang mencapai puncaknya pada satu generasi berikutnya, yaitu pada era Syekh Abdul Qadir al-Jilani (w. 1166).
Pada era tersebut, kebanyakan ulama menyatukan fikih dan kezuhudan di dalam dirinya, perpecahan mazhab telah digantikan oleh ukhuwah Islamiyah, serta berdiri banyak madrasah yang melahirkan generasi baru, generasi yang kemudian melahirkan tokoh seperti Shalahuddin al-Ayyubi (w 1193).
Hal ini dijelaskan dengan sangat baik oleh Dr Majid Irsan al-Kilani di dalam bukunya, Hakadza Dzahara Jilu Shalahuddin. Generasi baru yang dilahirkan gerakan islah itu kemudian menjalankan fungsi jihad dengan baik dan efektif serta mampu menampilkan wajah Islam yang rahmatan lil ’alamin. Semua itu bermula dari jihad al-nafs.
Perubahan yang terjadi sejak era al- Ghazali berlangsung secara gradual dan relatif lama. Namun, dampaknya juga lebih panjang dan berkesan. Perubahan itu mulai terasa saat terjadi Perang Salib II pada tahun 1147-1148.
Saat itu kaum Muslimin kembali bersatu. Orang-orang Frank justru mulai saling menjegal. Pada masa ini muncul seorang pemimpin yang saleh dan adil di Suriah, yaitu Nuruddin Mahmud Zanki (w 1174). Ia merupakan buah gerakan islah para ulama, dan pada gilirannya meneruskan gerakan perbaikan itu di wilayah yang dipimpinnya. Ia adalah atasan sekaligus pendahulu Shalahuddin.
Sebagai Muslim yang taat, Nuruddin memandang jihad sebagai sesuatu yang penting. Ia menyadari, jihad tidak akan berhasil tanpa didukung masyarakat yang baik agamanya serta para pemim pin yang mau bersatu dan bersungguhsungguh dalam jihad.
Maka ia pun membangun hubungan sangat baik dengan para ulama dan para zahid; membangun banyak madrasah dan zawiyah serta bersama-sama dengan para ulama menyebarkan nilai-nilai Islam di tengah masyarakat.
Bagi Nuruddin, doa-doa para ahli ibadah di malam hari lebih penting dan lebih efektif dalam menjamin kemenangan dibandingkan panah-panah tentaranya. Upaya memperbaiki keadaan in ternal umat Islam dilakukan melalui jihad al-nafs, yang tidak kalah pentingnya dibandingkan upaya mempertahankan dan membebaskan wilayah Muslim dengan jihad. Bahkan, yang pertama ini lebih penting karena dengan inilah perkara yang berikutnya dapat berjalan dengan baik.
Perjuangan Nuruddin diteruskan Shalahuddin al-Ayyubi. Di kemudian hari, Shalahuddin bukan hanya berhasil, tetapi jihad yang ia lakukan juga mampu menampakkan belas kasih yang bukan hanya dirasakan oleh kaum Muslimin, tetapi juga diakui musuh-musuhnya dari pihak tentara salib. Saat berhasil merebut kembali Kota Yerusalem, Shalahuddin sama sekali tidak melakukan pembalasan kepada orang-orang Frank di kota itu.
Mereka boleh pergi dengan selamat dengan membayar sedikit uang tebusan. Karena itu, Stanley Lane-Poole mengatakan di dalam bukunya, Saladin and the Fall of the Kingdom of Jerusalem, “Sekiranya pengambilalihan Yerusalem merupakan satu-satunya fakta yang diketahui tentang Shalahuddin, maka itu sudah cukup untuk membuktikan dirinya sebagai penakluk yang paling kesatria dan paling berjiwa besar pada eranya, dan barangkali pada era lainnya.”
*Naskah ini merupakan cuplikan artikel berjudul Sukses Jihad dalam Perang Salib, karya Alwi Alatas yang diterbitkan Harian Republika, pada 2015