Kamis 03 Sep 2020 07:00 WIB

Peneliti CSIS Ungkap Dua Alasan Partai Islam Kerap Pecah

Perbedaan pandangan antara elite internal partai salah sautu pemicu perpecahan..

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Andi Nur Aminah
Periset CSIS Arya Fernandes
Foto: Republika/ Wihdan
Periset CSIS Arya Fernandes

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti dan pengamat politik Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Arya Fernandes menilai perpecahan di partai Islam kerap terjadi karena dua alasan. Pertama adalah tak mengakomodasinya kepengurusan yang menang terhadap pihak yang kalah usai forum pemilihan pimpinan partai.

Hal inilah yang terjadi pada Partai Amanat Nasional (PAN), di mana kubu Amien Rais hingga sekarang dinilainya masih tak terima dengan hasil Kongres V di Kendari, Sulawesi Tenggara. Ditambah, Ketua Umum periode 2020-2025 tak mengakomodasi orang-orang yang berafiliasi dengan Amien.

Baca Juga

“Tidak adanya akomodasi politik kepada faksi-faksi di internal partai. Misalnya ada faksi atau kelompok yang berkuasa, kecenderungannya menghabisi lawan politiknya, sehingga kelompok yang termarginalkan itu membentuk partai baru,” ujar Arya kepada Republika.co.id, Rabu (2/9).

Alasan kedua partai pecah adalah adanya perbedaan pandangan antara elite internal partai. Ini pula yang terjadi pada PAN kepemimpinan Zulkifli, yang dinilainya berseberangan dengan pandangan Amien. Khususnya terkait posisi partai terhadap pemerintahan Joko Widodo. “Konflik internal itu biasanya didorong karena perbedaan pilihan politik. Misal yang paling sering di pilpres atau perpecahan yang terjadi karena suksesi yang gagal, misalnya ada kongres dan tak terima,” ujar Arya.

Dua pola itulah yang sering membuat partai, khususnya yang berbasis Islam mengalami permasalahan dan berujung perpecahan. Hal itu pernah terjadi pada Partai Masyumi dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), yang terbelah dan berakibat menurunnya jumlah suara di pemilihan umum.

Khusus untuk Partai Masyumi bahkan sampai bubar. Padahal umat Islam merupakan golongan mayoritas di Indonesia. Jika hal ini tak dibenahi, partai Islam di pemilu selanjutnya tak akan memiliki taji untuk bersaing dengan partai berbasis nasionalisme.

“Bahkan kalau kita gabungkan suara-suara partai yang punya akses islam seperti PKS, PKB, PPP, PAN itu kalau kita gabungkan suaranya tidak sampai 35 persen, dalam dua pemilu terakhir. Jadi memang market dari partai islam memang di kisaran segitu,” ujar Arya.

Guna menghindari adanya perpecahan yang berakibat turunnya suara partai, akomodasi pihak yang 'kalah' menjadi cara yang paling efektif. Dengan begitu, partai Islam dapat fokus dalam mengembangkan visi, misi, dan programnya. Ketimbang menghabiskan waktu untuk menyelesaikan konflik.

“Misalnya diakomodir dalam kepengurusan partai, kemudian dalam jabatan di luar partai, seperti pimpinan Komisi DPR atau pencalonan di Pilkada. Jadi faksi kelompok yang menang jangan mengambil semua (posisi), mereka harus melakukan akomodasi,” ujar Arya.

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement