REPUBLIKA.CO.ID, Mengapa di era modern ini bangsa Israel dan juga bangsa-bangsa lain di dunia dalam memperjuangkan kepentingan politiknya masih juga menempuh jalan kekerasan?
Menurut Aaron T Beck, psikiater dari Universitas Pensylvania, kekerasan politik yang diperton tonkan pada umumnya merupakan wujud dari balas dendam atas berbagai perlakuan yang tidak adil dan perilaku diskriminasi, yang terpendam sekian lama dalam sebuah masyarakat bangsa dan tidak diperhatikan pihak-pihak yang diharapkan.
Sehingga, aksi kekerasan mereka dijadikan sebagai instrumen untuk mencapai tujuan secara akurat demi mendapatkan keadilan yang diinginkan dan meminta perhatian. Dalam hal ini, laras senjata dipakai sebagai senjata atau sarana yang paling ampuh untuk memperoleh keinginan yang dimaksud.
Tetapi, bagaimana jika pandangan ini dikaitkan dengan aksi brutal yang dilakukan Israel terhadap Hamas dengan jatuhnya korban yang banyak dari kalangan masyarakat sipil Palestina?
Menurut John Galtung dalam Violence, Peace and Peace Researh (1996), pertama, kekerasan politik bersenjata seperti yang dilakukan zionis Israel, diambil sebagai misteri aksi, sebab ia mengedepankan rasa takut atau mempertontonkan ketidakpercayaan diri di tengah masyarakat bangsa lainnya.
Kedua, kekerasan politik merupakan cara yang masih diyakini zionis Israel sebagai cara yang paling efektif dalam berkomunikasi untuk memenangkan dialog.
Berbagai aksi kekerasan politik yang dipertontonkan dengan unsur pemaksaan kehendak dengan caracara biadab-perang, memperlihatkan kebuntuan akal sehat dan hilangnya kecerdasan dialog serta kegagapan komunikasi antarkomunitas bangsa.
Pada gilirannya pula, kekerasan politik bertentangan dengan budaya politik modern yang mengandalkan kesantunan dan rasionalitas. Dalam hal komunikasi dan dialog-dialog cerdas merupakan cermin dari masyarakat beradab, sedangkan kekerasan politik-bersenjata mengantarkan publik menjauhi peradaban.
Sebuah masyarakat bangsa dan negara, seperti Israel yang tidak memaksimalkan dialog, merupakan cermin dari ketidakmampuan me reka untuk bersikap terbuka dalam berpolitik secara cerdas, rasional, dan sehat. Di situ, kekuatan otot, nafsu, dan emosi mengalahkan kekuatan akal sehat dan kemampuan rasionalitas bangsa Israel. Rasionalitas bangsa Israel dikangkangi egoisme dan kepentingan diri.
Dengan demikian, jika bangsa Israel ingin menjadi sebuah bangsa yang beradab dan terhormat di Timur Tengah, mereka harus segera menumbuhkan kecerdasan dialog lewat bangunan instrumen dialogis dan melalui cara-cara yang elegan dan beradab di bawah kendali akal sehat sebagai simbol kecerdasan dan keadaban bangsa Yahudi untuk menyelesaikan segala persoalan yang dihadapinya.
Dalam instrumen itu, di Timur Tengah perlu ditaburkan nilai-nilai yang menghargai dialog yang semestinya menjadi anutan aksi kelompok-kelompok di kawasan itu yang senantiasa bertindak ekstrem. Sehingga, aksi-aksi apa pun dan dari kelompok mana pun di Timur Tengah, akan menampakkan karakternya sekaligus sebagai pembela hakiki pengembangan nilai-nilai keadaban, cermin masyarakat modern yang telah meninggalkan insting hewani.
Untuk semua itu, PBB, perlu segera menghilangkan diskriminasi, sambil mematrikan hukum internasional yang adil dan berwibawa dengan etika-etika global agar segera tumbuh ketaatan masyarakat terhadap hukum dan kemanusiaan.
Supremasi hukum internasional yang berkeadilan dan beretika global harus ditingkatkan di Timur Tengah, di mana kekerasan politik terus diprak tikkan secara telanjang hingga saat ini—sambil giat pula mengembangkan rekonsiliasi dan jalan-jalan perdamaian. Karena, kedamaian dan keharmonisan dunia hanya terjadi dalam tata tertib hukum dan penciptaan keadilan sosial, politik, dan ekonomi di mana pun.
Tanpa semua itu, yang terjadi adalah munculnya hubungan antar komunitas di Timur Tengah yang selalu ditandai dengan dominasi yang kuat terhadap yang lemah. Atau, homo homini lupus the man is wolf to man ala filsuf Thomas Hobbes. Masyarakat Yahudi sendiri pun terus terperangkap dalam ku bangan violensianisme sebagai cermin dari masyarakat tanpa keadaban.
*Naskah ini cuplikan karya Thomas Koten, yang diterbitkan Harian Republika pada 2009 lalu.