Kamis 03 Sep 2020 21:31 WIB

Ekonom: Kebijakan Pemerintah Turut Sebabkan Deflasi

Kebijakan pemerintah seperti penggratisan dan potongan tarif listrik sebabkan deflasi

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Pedagang menunggu datangnya konsumen di Pasar Senen, Jakarta, Selasa (1/9/2020). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat terjadi penurunan Indeks Harga Konsumen (IHK) atau deflasi sebesar 0,05 persen secara bulanan pada Agustus 2020 yang didorong oleh kelompok bahan pangan terutama daging ayam ras dan bawang merah.
Foto: ANTARA/Dhemas Reviyanto
Pedagang menunggu datangnya konsumen di Pasar Senen, Jakarta, Selasa (1/9/2020). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat terjadi penurunan Indeks Harga Konsumen (IHK) atau deflasi sebesar 0,05 persen secara bulanan pada Agustus 2020 yang didorong oleh kelompok bahan pangan terutama daging ayam ras dan bawang merah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menjelaskan, deflasi yang terjadi pada Juli dan Agustus tidak hanya dikarenakan rendahnya daya beli masyarakat. Kebijakan pemerintah turut andil memberikan dampak terhadap deflasi.

Salah satu kebijakan yang disebutkan Yusuf adalah penggratisan maupun potongan harga tarif listrik pada beberapa kelompok masyarakat. Efeknya, inflasi untuk sub kelompok harga yang diatur pemerintah (administered price) ikut rendah. "Kondisi ini juga berkontribusi pada deflasi," ucapnya saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (3/9).

Tapi, Yusuf menilai, penurunan daya beli menjadi faktor yang lebih dominan pada deflasi. Karena daya beli berkurang, permintaan pun berkurang yang otomatis menyebabkan harga barang-barang juga ikutan turun. Khususnya untuk produk-produk bahan makanan yang sifatnya tidak tahan lama.

Dengan beragam bantuan yang telah dan akan digelontorkan pemerintah, Yusuf mengatakan, inflasi bisa kembali terdongkrak pada kuartal keempat. Terutama program terkait menjaga daya beli seperti subsidi gaji dan bantuan langsung tunai (BLT). "Hanya saja, kenaikan inflasi tidak akan terlalu signifikan," tuturnya.

Yusuf menekankan, menjaga daya beli masyarakat tentu harus menjadi prioritas pemerintah. Apabila daya beli terus merosot, salah satu dampak signifikan yang akan terjadi adalah tidak maksimalnya penyerapan produksi industri lokal.

Padahal, menurut data Purchasing Managers’ Index (PMI) pada Agustus, kondisi output industri mulai menunjukkan perbaikan dengan indeks yang berada di level 50,3. Artinya, industri sudah memasuki masa ekspansi.

Kekhawatiran Yusuf bukan tanpa sebab. Ia menyebutkan, penyebaran kasus Covid-19 yang masih meningkat sampai saat ini akan menyebabkan masyarakat kembali membatasi aktivitas secara sukarela. "Jika terjadi, di sinilah potensi tidak optimalnya serapan produksi industri di dalam negeri bisa terjadi," tuturnya.

Sebelumnya, Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Doddy Budi Waluyo menjelaskan, deflasi yang terjadi pada dua bulan berturut-turut menggambarkan permintaan masyarakat yang memang masih lemah di tengah tekanan ekonomi akibat Covid-19. Apalagi krisis sudah diatasi dan konsumsi mulai naik, ia meyakini, inflasi akan kembali terjadi.

Doddy mengatakan, keyakinan itu juga disampaikan para pedagang eceran. Berdasarkan survei BI, mereka optimistis harga barang-barang sudah mulai naik pada September dan Oktober hingga awal 2021.

Banyak faktor yang mendasari keyakinan tersebut. Di antaranya, permasalahan suplai akibat musim hujan pada bulan ini dan  bulan depan yang mengakibatkan kenaikan harga. Selain itu, terdapat hari raya keagamaan pada Desember yang akan mendorong permintaan dan berefek pada kenaikan harga.

"Ini yang mendasari, inflasi akan terjadi pada paruh kedua tahun ini," ucapnya dalam Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR di Jakarta, Rabu (2/9).

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement