REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia dapat memperoleh bonus demografi pada 2035-2045. Namun, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit tidak Menular Kementerian Kesehatan (P2PTM Kemenkes) dr. Cut Putri Arianie mengatakan rokok dan dampaknya dapat membahayakan potensi bonus demografi Indonesia.
"Kita mau menuju 2035-2045 dengan bonus demografi yang harus kita peroleh di mana kita harapkan Indonesia emas akan terjadi karena usia produktif yang sehat, berkualitas akan tercapai saat itu," kata dr. Cut dalam seminar virtual Kemenkes bertema "Peran Keluarga dalam Menolak Bujukan Rokok" yang dipantau dari Jakarta, Kamis (3/9).
Bonus demografi itu, katanya, dapat terancam jika tren perokok muda meningkat. Generasi muda sudah terpapar rokok akan berisiko menghadapi penyakit tidak menular yang disebabkan rokok, seperti kanker paru-paru, kardiovaskular dan lain sebagainya.
Fakta itu, katanya, didukung bagaimana data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 yang menunjukkan bahwa terdapat peningkatan prevalensi merokok penduduk umur 10-18 tahun dari 7,2 persen pada 2013 menjadi 9,1 persen pada 2018.
Akibat kebiasaan merokok, kata dr Cut, generasi muda yang masuk dalam usia produktif berisiko terancam penyakit yang tidak muncul secara instan, tapi merupakan long term disease atau penyakit muncul dalam jangka panjang. "Anda merokok hari ini tidak langsung mati, tapi akibatnya beberapa tahun kemudian akan mengalami dampak perilaku itu," kata dia.
Karena itu Cut menyerukan agar menghentikan rokok dan mendorong memperbanyak kawasan tanpa rokok (KTR), yang didukung oleh UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. KTR, katanya, harus ditegakkan di fasilitas layanan kesehatan, tempat anak bermain, tempat belajar mengajar, tempat kerja, rumah ibadah, angkutan umum dan fasilitas umum lainnya.
"Jadi kalau bisa kita tegur orang-orang yang merokok di sini, memang biasanya galakkan yang ditegur dari pada menegur, itu konsekuensinya. Tapi harus kita upayakan karena kita punya hak hidup sehat," demikian ujar Cut.